Budaya Bersyukur

Percik Firman: Budaya Bersyukur
Selasa, 1 Desember 2020
PW Beato Dionisius dan Redemptus
Bacaan Injil: Luk 10:21-24

“Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Luk 10:21)

Saudari/a ku ytk.,
Bersyukur di tengah pandemi Covid-19 saat ini, masih mungkinkah? Memang situasi saat ini tidak mudah. Banyak hal serba terbatas. Kegiatan ke luar rumah juga dibatasi. Perjumpaan dengan teman-teman juga terbatas. Perayaan Ekaristi juga masih dibatasi dengan protokol kesehatan. Di mana-mana selalu ada ajakan untuk 3 M: Memakai masker, Menjaga jarak, dan Mencuci tangan.

Masih bisakah kita bersyukur di tengah situasi yang seperti ini? Sebagai orang beriman, kita perlu memelihara semangat dan budaya bersyukur di dalam situasi yang tidak mudah saat ini. Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin, iya nggak? Dengan bersyukur, hati kita akan bahagia.

Kita bisa bersyukur, misalnya, karena masih bisa bangun pagi hari ini, masih bisa bernafas menghirup udara segar, masih bisa menikmati makanan, masih bisa berkontak dengan teman-teman atau kerabat lewat telpon dan media sosial (WhatsApp, Facebook, Instagram, dll), masih bisa mengikuti misa online, masih berganti baju yang bersih, dll.

Firman Tuhan pada peringatan wajib dua martir di Indonesia pada awal Desember ini mengingatkan kita untuk bersyukur. Tuhan Yesus memberikan teladan bagaimana bersyukur itu. Yesus mengajak kita peka akan karya Allah dalam hidup ini, terutama dalam diri orang-orang yang kecil.

Dalam doa-Nya kepada Allah Bapa, Yesus mengungkapkan, “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil”.

Dengan hati yang bersyukur, orang akan menerima kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi aneka kesulitan dan tantangan dalam hidup ini. Bersyukur memberikan daya tahan banting dan tidak mudah menyerah. Bahkan juga akan membuat orang tetap setia pada imannya sampai akhir.

Hati yang bersyukur dan ketangguhan iman ini diteladankan oleh dua martir yang kita peringati hari ini. Mereka adalah Beato Dionisius (pelaut dan imam karmel dari Prancis) dan Beato Redemptus (tentara dan Bruder Karmel dari Portugal).

Keduanya meninggal sebagai martir di Aceh pada 27 November 1638. Di pesisir pantai tentara Sultan Aceh mengumumkan bahwa mereka dihukum mati bukan karena berkebangsaan Portugis, melainkan karena mereka adalah pemeluk agama Katolik. Pastor Dionisius dipukul bagian kepalanya dengan gada hingga pecah, lalu lehernya digorok. Sedangkan Bruder Redemptus ditembak dengan panah, lalu lehernya digorok.

Kemartiran mereka disahkan Tuhan: mayat mereka selama 7 bulan tidak hancur, tetap segar seperti sedang tidur. Menurut saksi mata, setiap kali dibuang ke laut dan tengah hutan, jenasah Dionisius senantiasa kembali lagi ke tempat ia dibunuh.

Akhirnya jenazahnya dengan hormat dimakamkan di Pulau Dien (‘pulau buangan’). Kemudian dipindahkan ke Goa, India. Bersama Bruder Redemptus, Pastor Dionisius diangkat menjadi Beato oleh Paus Leo XIII pada tangal 10 Juni 1900.

Mereka mengungkapkan dan mewujudkan imannya pada Kristus sampai akhir hayat. Mereka tidak takut. Tidak gentar. Tidak menyerah. Mareka terus menyuarakan kebaikan dan kebenaran meski kemudian risikonya kematian.

Beato Dionisius dan Redemptus, doakanlah kami agar mempunyai hati yang penuh syukur dan iman yang kuat dalam menghadapi situasi pandemi covid-19 dan menjalani salib pada zaman ini.

Pertanyaan refleksinya, apa yang membuat Anda bersyukur akhir-akhir ini? Selamat memasuki bulan Desember dengan penuh iman-harapan-kasih. Berkah Dalem dan salam teplok dari Bumi Mertoyudan.

# Y. Gunawan, Pr

Similar Posts