Ketulusan Berbagi
Percik Firman: Ketulusan Berbagi
Minggu Biasa ke-32, 7 Nov 2021
Bacaan Injil : Mrk 12:38-44
Saudari/a ku ytk.,
Kehidupan di Seminari Mertoyudan ini banyak ditopang oleh kemurahan hati dan kedermawanan para donatur dan pemerhati dari berbagai tempat. Ada donatur yang perseorangan, ada yang keluarga, ada yang kelompok doa, paguyuban ibu-ibu lingkungan/wilayah/ paroki, dan ada pula sumbangan dari paroki. Beberapa hari yang lalu ada sumbangan donasi dari Paguyuban Ibu-Ibu Paroki Pugeran.
Terkait dengan donatur yang perorangan, saya mengenal bahwa ada dari mereka yang sudah hidup sendiri. Ibu janda itu biasanya mengirimkan makanan dan uang ke seminari. Beliau mempunyai hati yang tulus dan kepedulian untuk mendukung pendidikan calon imam.
Manusia adalah makhluk pribadi, sekaligus kita manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain. Kita dipanggil menjadi sesama bagi orang lain (homo homini socius).
Kalau filsuf Rene Descartes mengatakan “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Dari sabda Tuhan hari ini, kita mendapat inspirasi dari tindakan ibu janda di bait Allah: “Saya berbagi, maka saya ada”.
Dalam bacaan Injil hari ini, Tuhan Yesus memuji sikap seorang ibu janda yang bermurah hati dan berdermawan. Dia memberikan uang persembahan dengan tulus ikhlas. Padahal, uang itu sangat ia butuhkan. Sudah tidak ada gantungan hidupnya. Suaminya sudah meninggal dunia. Anaknya tidak ada.
Kata “janda” dalam bahasa Ibrani adalah ’almanâ dan kata Yunaninya adalah chera. Dalam penggunaan umum kata Yunani chera memiliki akar yang bermakna “ditinggalkan, tertinggal kosong”. Sementara makna ’almanâ lebih melukiskan seorang wanita yang kehilangan dukungan sosial dan ekonomi karena kematian suaminya. Seorang janda memiliki status sosial yang lemah.
Dalam Injil hari ini, orang-orang kaya “yang sedang memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan” dipertentangkan dengan janda miskin “yang memasukkan dua peser”. Paus Fransiskus pernah merenungkan bahwa orang-orang kaya dalam kisah ini “tidak jahat”. Tetapi mereka adalah “orang-orang baik yang pergi ke Bait Suci dan memberikan persembahan mereka”.
Bapa Suci mengajak kita untuk memiliki hati yang dermawan, di mana semua orang bisa masuk. “Orang-orang kaya yang memberi uang itu baik; perempuan tua itu adalah orang kudus”, kata Paus Fransiskus. Pesan dari perikop Injil ini adalah undangan untuk bermurah hati dan tulus berbagi.
Bunda Maria juga menjadi teladan kita dalam menghayati hidup yang tulus dan berbagi. Dia menjawab ‘ya’ atas tawaran untuk menjadi ibu Sang Mesias. Dia menjadi ibu yang mengandung, melahirkan dan merawat Yesus dari bayi sampai wafat-Nya. Dia memangku bayi Yesus dan memangku jenasah Yesus. Dia seorang ibu yang penuh kasih dan tulus dalam memberikan seluruh hidupnya bagi Yesus dan Gereja-Nya.
Di dalam Gereja Katolik ada “Virgo Lactans” atau “Madonna Lactans” atau “Madonna del latte”, yaitu ikonografi Bunda Maria yang sedang menyusui bayi Yesus. Representasi ikonografi pertama Madonna del Latte ditemukan di Mesir dan berasal dari abad VI-VII.
Lucetta Scaraffia, Profesor dan sejarawan kontemporer di Universitas La Sapienza Roma, mengungkapkan bahwa gambar tersebut mengungkapkan sosok Bunda Maria sebagai seorang wanita yang lembut dan seorang ibu yang penuh kasih. Ditegaskan, “Bayi Yesus adalah bayi seperti semua manusia lain, keilahian-Nya tidak mengecualikan kemanusiaan-Nya”.
Dalam sejarah Gereja, patung atau lukisan “Bunda Maria menyusui Bayi Yesus” dihormati sebagai Maria pelindung bagi pasutri yang mengharapkan segera memiliki keturunan, pelindung para ibu yang memiliki bayi, pelindung para bayi, lambang kasih sayang keibuan Maria kepada semua anaknya, dan juga sebagai teladan bagi semua ibu dalam merawat anak-anaknya.
Marilah kita memohon restu kepada Bunda Maria agar kita menjadi pribadi yang tulus dalam mengasihi dan berbagi dalam hidup ini. Berkah Dalem dan Salam Teplok dari MeSRA (Mertoyudan Spiritual Rest Area). # Y. Gunawan, Pr