Pendidikan Kita: Menyiapkan Champion in Humanity

Kata pendidikan berasal dari kata Latin “educatio”, yang akarnya adalah “educare”. Dalam bahasa Yunani kita mengenal istilah “paideia”.  Dalam pendidikan klasik Yunani, pendidikan dasar dan menengah itu meliputi gymansium, grammatica, rhetorica, musica, mathematica, geographia, historia,  philosophia. Inilah yang sering dimasukkan dalam ilmu humaniora. Pendidikan itu meliputi pendidikan fisik, kemampuan berbicara, pengembangan seni, dan pengetahuan bumi, sejarah dan filsafat. Ini menunjuk pada keutuhan manusia dalam aspek tubuh, pikiran dan roh (body, mind, soul).

Secara etimologis, kata “educatio” (pendikan) bisa dirunut asalnya dari dua kata Latin: “educare” dan “educere”. Kata “e-ducare” dan “e-ducere” sama-sama mengandung pengertian “menuntun keluar”. Yang pertama berkaitan dengan masa lalu, dan yang kedua berkaitan dengan masa kini dan masa depan. Keseimbangan antara pendekatan pendidikan yang menyangkut masa lalu (pendekatan historis) dan pendekatan aktual yang mengembangkan kemampuan kreatif dan adaptif terhadap tantangan perlulah diterapkan dalam setiap mata pelajaran di sekolah. Hal yang demikian akan menghindarkan kita terjebak ke dalam proses mendidik yang sempit. Proses pendidikan yang meningkatkan daya ingat (memory) dan daya pikir kreatif akan membantu anak bertumbuh menjadi pribadi yang kreatif tanpa kehilangan akar masa lalu yang kokoh.

Dalam pengertian ini, pendidikan meliputi seluruh proses yang melibatkan seluruh ekosistemnya, untuk membantu manusia mengembangkan dan menumbuhkan potensi-potensi dalam dirinya. Potensi-potensi itu meliputi  keahlian (skill) yang akan dibutuhkan untuk hidup manusia. Namun, dalam pengertian ini seringkali pendidikan lalu hanya ditafsirkan melulu untuk membantu manusia memiliki segala kemampuan teknik yang dibutuhkan untuk kehidupan di dunia ini. Hal yang terlupakan,  bahwa untuk mengembangkan dan menumbuhkan potensi diri, orang membutuhkan nutrisi-nutrisi yang melekat pada kemampuan non material dan non teknis seperti kemampuan menggunakan akal sehat dan menimba nilai-nilai dasar yang membentuk karakter seseorang. Skill tanpa karakter hanya seperti mencetak robot-robot (baca: teknokrat-teknokrat) yang berkemampuan tinggi tetapi tidak memiliki suara hati yang mengarahkan segala aktivitas manusia. Oleh karena itu, meminjam gambaran dalam Mz. 1:3 “seperti pohon di tepi aliran air, berbuah pada musimnya…”, pendidikan mestinya tidak hanya sibuk untuk mengembangkan skill  manusia, tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan menimba nutrisi kehidupan yang melandasi pengembangan diri manusia. Itu terkait dengan pertanyaan dasar manusia untuk apa ia ada dan diciptakan di dunia ini. Pendidikan harus menyentuh perkara dasariah ini. Pohon untuk bertumbuh dan berbuah membutuhkan akar yang mampu menyerap nutrisi dan air yang menopang kehidupan pohon itu. Semakin kokoh dan dalam akar itu berkembang, semakin kokoh pohon itu bertumbuh dan tidak akan mudah roboh dan mati.

Pendidikan kita di Seminari St. Petrus Canisius ini mau meletakkan seluruh proses formatio dalam akar yang kuat dan mendalam, yakni pada nilai-nilai kemanusia dan spiritual.  Kita tidak ingin di Seminari ini menjadikan para lulusannya sekedar pandai mengembangkan otak dan kemampuan manusiawinya tanpa mengembangkan akar yang kokoh pada nilai kemanusian dan rohani. Arah pendidikan dan formasi kita lalu mau membantu setiap seminaris mengembangkan diri sebagai pribadi yang seutuhnya yang menyentuk body, mind, dan spirit. Dalam arti ini, formatio di Seminari ini mau membantu pertumbuhan pribadi yang ber-3S (Sanctitas, Sanitas, Scientia). Arah pendidikan dengan motto 3S ini menjadi kerangka formatio yang integral dan seimbang. Ini mencakup pembinaan fisik, intelektual dan rohani. Hal ini didukung lewat penciptaan habitus yang menghidupi 4 nilai dasar (core values) di Seminari, yakni kejujuran, tanggungjawab, disipilin dan pelayanan.

Agar seminaris bertumbuh menjadi pribadi yang kreatif tanpa kehilangan akar kemanusiaannya, maka keseimbangan dalam pendidikan yang mengintegrasikan  daya memory terhadap masa lalu dan daya kreatif untuk menanggapi perubahan dan tantangan aktual dan masa depan.  Pribadi manusia seutuhnya itu juga terkait dengan masa lalu, masa kini dan masa depannya. Maka, pribadi yang dewasa dan seimbang mampu menemukan jati dirinya yang menjawab tiga pertanyaan klasik ini: “Dari mana aku berasal? Dimana aku hidup saat ini? Kemana aku harus mengarahkan hidupku?” Pendidikan lalu menjadi proses pembentukan jati diri dalam perspektif masa lalu, masa kini dan masa depan.

Dengan kata lain,  setiap seminaris mestinya mengarah untuk menjadikan dirinya sebagai pribadi yang berkualitas sebagai “champion in humanity” (pejuang kemanusiaan). Horizon iman, yang diwariskan dari Gereja dalam iman akan Yesus Kristus, memberikan visi kemanusiaan ini. Profile model kemanusiaan untuk setiap pendidikan Kristiani adalah Pribadi Yesus Kristus sendiri. Dia yang digambarkan sebagai pribadi yang “semakin bertumbuh besar dan dicintai”. Dengan begitu, Gereja Katolik diharapkan semakin memberikan daya kesaksian yang membuatnya relevan dan dicintai banyak orang. Semoga para seminaris semakin menemukan jati dirinya yang memiliki semangat perjuangan untuk kemanusiaan. Sumber insipirasinya ada dalam relasinya dengan Yesus Kristus untuk pengembangan diri menjadi calon gembala-gembala Gereja masa depan. Maka, Seminari St. Petrus perlu menyiapkan generasi pemimpin Gereja yang siap menghadapi tantangan masa depan ketika kemanusiaan semakin mendapat tantangan yang luar biasa. Sementara sekolah-sekolah menengah lain, terutama lewat sekolah yang berciri vokasional, menyiapkan generasi yang siap menjadi tenaga kerja di berbagai bidang pembangunan nasional, Seminari sebagai rumah formatio untuk mendidik calon gembala Gereja tidak ingin membentuk generasi konsumtif, tetapi generasi yang unggul dalam komitmennya pada nilai kemanusiaan. Pemimin yang semakin manusiawi, makin Kristiani, dan semakin Kristiani, semakin manusiawi.

Oleh karena itu, Seminari St. Petrus Canisius perlu menjadikan rumah formatio sebagai tempat untuk proses pembinaan yang menyiapkan generasi pemimpin yang menjadi unggul dalam nilai-nilai kemanusiaan yang berakar pada nilai-nilai Kristiani agar bisa membangun Gereja yang semakin relevan dalam konteks kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

M. Yumartana, S.J.

Similar Posts