|

Artificial Intelligence dan Pendidikan



Akhir-akhir ini marak dibicarakan tentang pentingnya Artificial Intelligence (AI) dalam kehidupan manusia. Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan) adalah °sebuah sistem kecerdasan manusia yang memungkinkan seperangkat sistem komputer atau mesin lainnya dapat berpikir dan bekerja layaknya manusia.° (i) Sejauh mana itu penting bagi dunia pendidikan kita? Sejauh mana teknologi mempengaruhi mentalitas manusia?

Tiga Tahap

Kita perlu memahami AI sebagai salah satu produk teknologi. (ii) Teknologi dalam sejarah manusia diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani berbagai aktivitasnya. Nah, kita bisa membagi perkembangan teknologi ke dalam beberapa tahap.

Yang pertama, teknologi muncul ketika manusia berhadapan dengan keterbatasan dirinya dalam alam sekitarnya. Dalam masa manusia hidup dari berburu binatang, manusia sudah menyadari bahwa untuk menangkap binatang tidaklah cukup hanya menggunakan tangan. Maka diciptakan berbagai alat untuk menangkap binatang. Untuk membunuh binatang diciptakan alat pembunuh dari batu, seperti kapak dari batu yang dipertajam. Untuk mengolah tanah, diciptakan cangkul. Teknologi berkembang untuk mengatasi keterbatasan kemampuan manusia berhadapan dengan alam.

Tahap yang kedua, teknologi berkembang ketika manusia menyadari keterbatasan alam untuk diolahnya. Pertanyaannya, bagaimana alam yang terbatas itu bisa memberikan hasil yang cukup bagi semakin banyak orang. Oleh karena itu, diciptakanlah pupuk dalam dunia pertanian. Kita mengenal juga cara-cara baru dalam penangkapan ikan sehingga mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dan besar. Kita mengenal teknologi rekayasa genetik atau yang dikenal dengan GMO (genetically modified organism) untuk membuat berbagai jenis tanaman hibrida yang mampu menghasilkan panen berlipat ganda dengan kualitas yang lebih baik. Jadi perkembangan teknologi tahap kedua ini untuk menjawab keterbatasan resources yang ada. Begitu juga, dalam tahap kedua ini membantu manusia untuk bisa bergerak lebih cepat dan efektif. Maka, diciptakannya berbagai mesin penggerak, baik untuk keperluan pabrik maupun untuk keperluan transportasi.

Tahap ketiga dari perkembangan teknologi adalah tahap ketika manusia berhadapan dengan keterbasan pikirannya sendiri atau kecerdasannya sendiri. Ini kedengaran ironis. Manusia yang menyadari keterbatasan pikiran, dan dengan pikirannya itu menciptakan sebuah produk teknologi yang ingin mengatasi keterbatasannya? Produk teknologi tahap ini adalah AI itu.

AI membantu manusia untuk mengingat berbagai hal, yang semua data ada dan tersimpan dalam sistem komputer. Segala perkara manusia terekam sebagai jejak digitalnya, baik kesenangan maupun aspirasinya, bahkan aktivitasnya. Lewat smartphone, aktivitas manusia tercatat dan terpantau lewat satelit. Kemana orang pergi, dengan teknologi, mudah terdeteksi. Lewat digitalisasi data diri, pendataan wajah, sidik jari secara digital, kemana pun orang pergi dan sembunyi tidak sulit untuk ditemukan kembali. Untuk mengingat masa lalu yang hilang, bahkan lewat jejak digitalnya, orang bisa mengingatnya kembali. Itulah AI yang mampu mengatasi keterbatasan pikiran manusia, bahkan ada yang menganggap telah menggantikan peran pikiran manusia. Lalu, apakah pada gilirannya manusia sedang menjadi korban dari kecerdasannya sendiri?

Itulah pertanyaan yang mestinya kita ajukan sekarang ini. Apakah kita sedang menjadi korban dari kecerdasan kita sendiri? Terhadap pertanyaan etis akan AI ini, ada dua hal yang bisa kita angkat untuk mengkritisinya agar kita tidak terjebak menjadi korban. Pertama, untuk kepentingan siapakah AI itu diciptakan dan dikembangkan? Kedua, sejauh mana AI itu mempengaruhi orang-orang yang kecil dan lemah, bahkan tidak berdaya?

Kita perlu menyadari bahwa bagaimanapun juga setiap produk manusia semestinya jangan dibiarkan menjadi berhala (dipuja, diagungkan, disembah) sebagai satu-satunya penyelamat. Produk manusia harus diletakkan untuk kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Maka setiap ada gejala bahwa ada orang yang cenderung dijadikan budak olehnya, haruslah kita waspada. Produk teknologi AI yang berbasis logika pasti, hitam dan putih, tidaklah mengenal perasaan dan tepo seliro (compassion). Seandainya diciptakan robot yang menangis pun itu karena diperintah oleh sistem, bukan oleh gerak hati.

Oleh karena, setiap pemanfaatan produk teknologi dalam dunia pendidikan mesti ditempatkan secara bijaksana sebagai fasilitas, bukan menggantikan dalam proses pendidikan. Secara tradisional, guru biasanya mentransfer pengetahuan kepada anak didiknya. Kini, dengan AI, perkara informasi pengetahuan anak bisa langsung mencari di internet. Dengan bantuan AI seperti internet, seorang siswa bisa memiliki pengetahuan lebih banyak daripada gurunya. Apalagi bagi generasi Z yang akrab berselancar dengan dunia digital (karakter hyper custom).

Keterbatasan Paradigma Positivistik

Setiap produk teknologi merupakan capaian kecerdasan manusia. Dan setiap capaian kecerdasan manusia bisa dipakai oleh manusia itu untuk menuju pada capaian berikutnya. Maka, perkembangan teknologi cenderung bersifat linear. Dibalik proses pencapaian teknologi yang demikian, ada satu paradigma berpikir yang disebut berpikir positivistik. Artinya, setiap perkembangan itu bisa diukur dan dibuktikan secara pasti kebenarannya. Dengan berbasis data, fakta capaian dan produk kecerdasan hanya berguna sejauh itu diverifikasi (terbukti) dan dapat difalsifikasi (dibuktikan tidak benar) sesuai ukuran kepastian lewat pengamatan inderawi (empirik). Di balik ini, ada keyakinan bahwa setiap kenyataan itu bersifat empirik. Setiap capaian yang tidak melewati proses demikian, akan sulit untuk dibuktikan. Maka, secara positivistik itu tidak sahih menjadi dasar.

Suatu kali, seorang teman sedang membicarakan kesulitannya dalam bergaul dan menghadapi teman-temannya yang berbeda pandangan agamanya. Dia hanya beranggapan bahwa teman yang berbeda sikap dan pandangan itu salah. Dia menyadari bahwa setiap kali ia berhadapan situasi demikian, dia kesulitan untuk bergaul, karena cara pandangnya hitam putih. Kalau orang tidak sesuai pandangannya, maka orang itu dianggap bukan teman yang cocok baginya. Ia akan cenderung meninggalkan teman yang berbeda. Hal yang demikian membuat dia mengalami kesepian yang mendalam. Ia cenderung menjadi asosial. Ia sulit untuk mendapatkan teman, sebab teman-temannya menganggap dia aneh. Namun, akhirnya dia menyadari mengapa ia bersikap demikian dan cenderung melihat banyak pengalaman secara hitam putih. Ia adalah seorang programmer, yang sehari-hari hanya berkutat dengan dunia digital. Dia bisa sangat pandai membat program. Ia menyadari, hal inilah yang mempengaruhi dia cenderung berpikir hitam putih. Ia menjadi kaku dalam menyikapi berbagai hal, termasuk dalam pergaulan yang seringkali gagal. Itu semua disebabkan pola berpikirnya yang telah dipengaruhi sistem kerja mesin digital. Ia seperti mesin hitung yang hanya bisa memberikan jawaban pasti: 3 + 4 = 7. Ia tidak bisa melihat alternatif lain. Ia berpikir hanya untuk kepastian. Maka, ia kesulitan menerima sesuatu yang diluar pikirannya. Ia tidak siap menerima °surprise° atau hal yang tak terduga. Akibatnya, ia mudah sekali depresi. Lalu, cenderung masuk ke kamar untuk menyendiri.

Paradigma positivistik yang melatarbelakangi perkembangan teknologi digital, khususnya AI, adalah paradigma yang serba pasti. Di sini ruang petualangan imajinasi tidak ada. Nilai-nilai kekaguman pada pengalaman yang melampaui batas rasionalitas itu juga tidak mendapat tempat. Di sinilah terletak saya kira pentingnya peran pendidikan yang membebaskan orang dari jerat pemberhalaan teknologi. Pendidikan tetap perlu berpijak pada jatidiri manusia yang bebas dan kreatif, juga dalam kemampuannya menggunakan daya imajinatif. Pendidikan harus mampu mempertuankan diri manusia atas teknologi, bukan malahan memperhambakan diri pada teknologi. Bagaimana itu?

Pendidikan Yang Membebaskan

Bagaimana pendidikan kita mampu mempertuankan pribadi manusia atas teknologi dan atas sejarahnya sendiri?

Seorang tokoh pendidik dan filsuf yang terkenal dari Brasil, Paulo Freire (1921-1997),(iii) menuliskan buku Pendidikan Yang Membebaskan (Pedagogy of the Opressed) menekankan pentingnya bahwa anak didik jangan dicabut dari akar realitas sosialnya. Dengan kata lain, anak didik diajak akrab dengan dunia sekitarnya, jangan sampai terasing. Kontak langsung, lewat pengamatan dan pengalaman, anak didik diajak untuk menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari realitas sekitarnya, bukan sebagai subjek yang asing terhadap dunianya.

Bahaya digitalisasi dunia pendidikan tampaknya terletak di situ. Teknologi digital mampu mendekatkan kenyataan yang jauh secara virtual, namun malahan menjauhkan kenyataan yang dekat secara eksperimental. Bila kebijaksanaan klasik mengatakan, °Pengalaman adalah guru terbaik°, maka hal itu tidak berlaku dalam dunia digital. Bukan pengalaman yang terjadi di dunia digital, tetapi sekedar pengamatan yang mungkin sekedar menyentuh sebagian sisi manusiawi kita. Ada situasi berjarak dalam pengamatan. Lain halnya, bila orang berada dan terlibat dalam kenyataan. Tidak ada jarak antara kenyataan dan pengalaman. Berada di tengah kenyataan sering membawa orang pada ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Namun dengan demikian, orang dilatih untuk memiliki daya tahun terhadap yang tidak pasti. Di samping itu, dalam situasi ketidapastian, justru daya imajinasi kreatif bisa dibangunkan. Jalan pembebasan ditemukan di tengah kebuntuan, peluang dilihat di tengah kesempitan, dan titik terang sedikit mampu membangkitkan bara api keberanian menembus kegelapan. Nah, pengembangan diri semacam inilah yang mudah sekali terhalang oleh dunia digital yang berbasis kerja mekanik dan programatik. Semua yang ada diluar sistem program akan tersingkir, dan sekedar dianggap °scam° (sampah) yang hanya akan terbuang dari sistem.

Pentingnya Pedagogi Reflektif

Pedagogi reflektif itu berbasis kesadaran diri. Aktivitas refleksi berangkat dari kesadaran subjek dengan dirinya dan dunia sekitarnya. Dengan aktivitas refleksi, orang diajak untuk mengasah kemampuan akal sehatnya untuk mengamati kesadaran diri subjektif, peristiwa dan kenyataan sekitarnya yang mempengaruhi pikiran, sikap dan tindakannya. Refleksi berangkat dari kesadaran diri °Aku ada di sini.° Lalu, dari situ, pertanyaan terus berlanjut, °Siapakah aku ini?°. Refleksi yang demikian menjadi latihan untuk terus menerus menyadari diri sebagai subjek bukan objek.

Oleh karena itu, peran latihan refleksi yang rutin, entah tertulis maupun tidak tertullis, kiranya mampu mengangkat kesadaran diri sebagai subjek, atau tuan atas dirinya dan dunianya. Artinya, terhadap berbagai peristiwa dan fasilitas dalam dunia pendidikan, orang tidak kehilangan kendali atasnya. Belajar lalu berarti mengarahkan diri pada tujuan untuk bertumbuh dan berkembang menjadi tuan atas dirinya sendiri secara utuh. Lewat refleksi, objek pembelajarannya lalu tak terbatas pada fasilitas, tetapi juga pada pengalaman dirinya sendiri.

Dengan kata lain, pedagogi reflektif membantu setiap peserta didik untuk menyadari diri sebagai subjek yang terus berkembang. Nilai-nilai seperti kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab dan pelayanan menjadi bagian dari kesadaran diri subjek yang mau mengembangkan diri. Semangat untuk belajar diletakkan dalam konteks pengembangan diri seutuhnya. Pedagogi reflektif merupakan sarana untuk menjaga arah dan tujuan pendidikan sebagai pengembangan pribadi manusia seutuhnya. Pedagogi reflektif menempatkan anak didik sebagai subjek bukan objek dalam pendidikan.

Harapan

Perkembangan teknologi memang perlu untuk pendidikan kita. Namun, menyadari bahwa pendidikan bukan hanya menyentuh ketrampilan yang dibutuhkan industri saat ini, maka fokus penting pembinaan karakter dalam menyikapi sarana dan teknologi demi memenuhi kebutuhan industri dan pembangunan jangan sampai dikalahkan. Bahkan, pembinaan karakter itu lebih utama daripada perkembangan teknologi. Karakter yang sehat akan menjauhkan anak didik dari jebakan penghambaan manusia pada teknologi. Apa artinya pendidikan bila hanya mencetak orang ahli dan trampil menggunakan teknologi tetapi berkarakter jahat?

Mertoyudan, 9 Desember 2023
Markus Yumartana, S.J.

Catatan:
i. Baca: https://bakrie.ac.id/articles/373-artificial-intelligence-adalah-teknologi-masa-depan-baca-selengkapnya.html
ii. Refleksi ini mendapat inspirasinya dari Oriol Quintana dalam buku kecilnya (Booklet) yang berjudul On Technology yang dterbitkan sebagai salah serie dari Cristianisme i Justicia, Barcelona, Spain, Edisi Februari, 2023. Oriol Quitana adalah Guru Besar di bidang Etika Kristiani di the Chemical Institute of Sarria, Barcelona, Spanyol (Ramon Llull University).
iii. Paulo Freire, Pendidikan Yang Membebaskan (Educacao Como Practica de Liberdade, Jakarta: Melibas (Media Lintas Batas),

Similar Posts