Mau Menerima atau Menolak Berkat?
Percik Firman: Mau Menerima atau Menolak Berkat?
Minggu Biasa ke-28, 11 Oktober 2020
Bacaan Injil : Mat 22:1-10
Sdri/a ku ytk.,
Pada hari Sabtu kemarin 10 Oktober 2020, Paus Fransiskus mengangkat seorang remaja, Carlo Acutis (sekitar 15 tahun), menjadi beato di Kota Assisi, Italia. Dia lahir di London pada 3 Mei 1991 dan meninggal dunia di Milan pada 12 Oktober 2006.
Dia tidak ditampilkan dengan jubah sebagaimana orang kudus pada umumnya, tetapi dengan pakaian sehari-hari: jaket, jins, sepatu ket, menenteng tas dan laptop. Dia suka sepak bola, suka bermain video game, dan seorang programmer.
Dalam tampilan luar yang apa adanya, ia mempunyai hidup rohani yang luar biasa: rutin ikut Ekaristi, berdevosi rosario, sering menerima sakramen tobat, mengasihi tema-temannya, dan menggunakan hobinya untuk mewartakan Ekaristi. Dia mengungkapkan, “Ekaristi adalah jalan tol ku menuju ke surga”.
sebagai seorang programer, dia membangun situs web yang memuat katalog mukjizat Ekaristi di seluruh dunia. Ia mempersembahkan sakitnya Leukemia untuk Gereja. Carlo.
Pastor Carlos Acácio Gonçalves Ferreira, pimpinan tempat jenazah Carlos ditempatkan mengatakan, untuk pertama kalinya dalam sejarah orang suci mengenakan pakaian seperti itu.
“Ini adalah pesan yang luar biasa bagi kita; kita dapat merasakan bahwa kekudusan bukanlah hal yang jauh, tetapi sangat dapat dijangkau setiap orang karena Tuhan adalah untuk semua orang,”katanya.
Sabda Tuhan hari ini berbicara tentang perjamuan, baik Kitab Yesaya maupun Injil Matius. Biasanya perjamuan diwarnai dengan suasana kegembiraan, sukacita dan persaudaraan. Selain itu, di sana ada hiburan dan makanan yang enak. Orang mengenakan pakaian pesta. Siapa pun diundang.
Tuhan Yesus menyampaikan perumpamaan tentang Kerajaan Surga seperti seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya. Sang raja sampai dua kali mengundang. Yang kedua kalinya bahkan ada nada memohon. Tetapi orang-orang yang diundang tetap tidak mau datang, menolak undangan itu. Ada yang tak peduli, ada yang meremehkan undangan, malah menyiksa dan membunuh suruhan raja. Ini sama dengan memutuskan hubungan.
Menurut Rama A. Gianto SJ, “Perjamuan nikah” tidak sekedar hadir dalam resepsi, melainkan mengikuti upacara religius dan berbagi hikmatnya. Dalam kesempatan seperti itu dulu kerap didendangkan lagu-lagu kasih antara mempelai lelaki dan mempelai perempuan.
Lagu-lagu itu sering bernada erotik, tapi sekaligus juga amat religius. Salah satu bentuk yang paling dikenal dan sudah menjadi bagian Kitab Suci ialah Kidung Agung.
Menolak ajakan untuk menghadiri pesta nikah berarti menolak berkat. Mereka yang menolak itu kehilangan dua hal. Pertama, rusaknya hubungan dengan raja yang bisa melindungi mereka.
Kedua, mereka kehilangan kesempatan ikut pesta nikah yang meriah yang memiliki arti khusus tadi. Jadi mereka semakin menjauhkan diri dari kesempatan yang bakal membuat hidup mereka berarti. Mereka menjauh dari Kerajaan Surga.
Karena perjamuan nikah telah tersedia tapi yang diundang tak layak datang, maka raja menyuruh hamba-hambanya ke persimpangan jalan, membawa orang-orang yang mereka temui di sana, siapa saja, ke perjamuan nikah tadi.
Yang dimaksud dengan persimpangan jalan ialah lapangan tempat orang biasanya berkumpul dengan macam-macam maksud: istirahat, menunggu kesempatan kerja, melewatkan waktu, berjualan, membeli. Apa saja. Kegiatan sehari-hari yang bermacam-ragam. Orang-orang yang di situ dengan macam-macam keadaan itulah yang diminta datang ke perjamuan nikah. Siapa pun diundang dan diajak masuk dalam kerajaan Allah.
Dengan mengajak orang ikut serta dalam kegembiraan pesta nikah anaknya, sang raja tadi ingin berbagi kegembiraan. Kegembiraannya itu baru menjadi nyata bila ikut dirasakan orang lain. Ia berusaha mendatangkan orang-orang untuk ikut. Pestanya itu kemudian dibuka bagi siapa saja yang tadinya tidak termasuk hitungan.
Dalam alam pikiran Semit, pakaian memberi bentuk kepada orang yang memakainya sehingga dapat dikenali. Tidak mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa sungguh mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri dikenal sebagai yang datang untuk itu.
Komitmen setengah-setengah ini kurang dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga. Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan dikenali sebagai orang yang hidupnya sedang berubah dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang hidup dalam perjamuan yang makin memanusiakan dan makin mendekatkan ke keilahian.
Pertanyaan refleksinya, bersediakah Anda diundang untuk ikut perjamuan dalam Kerajaan Surga? Apa yang Anda usahakan agar layak ikut dalam pesta perjamua di surga? Jangan lupa bahagia. Berkah Dalem dan Salam Teplok dari Bumi Mertoyudan.
#Y. Gunawan, Pr.