Menjadi “Ksatria” Masa Kini

Percik Firman: Menjadi “Ksatria” Masa Kini
Senin, 20 April 2020
Bacaan Injil: Yoh 3:1-8

“Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah” (Yoh 3:2)

Saudari/a ku ytk.,
Pada suatu hari ada seorang seminaris yang meminjam sepeda saya untuk berolahraga mengelilingi kompleks Seminari Mertoyudan. Saking semangatnya dalam menggenjot pedal sampai bagian gir rantai rusak dan patah. Dia pun menuliskan secarik kertas di depan kamar saya. Dia meminta maaf sudah merusakkannya dan akan mengganti dengan yang baru.

Saat bertemu dengan saya pada sore harinya, dia menjelaskan kronologinya kejadian, bagian yang rusak, dan sudah memesankan gir rantai yang baru lewat online. Lalu saya tanya, berapa harganya. Dia menyebut sebuah angka dan sudah membayarnya. Kemudian, saya mengapresiasi kejujurannya dan sikapnya yang bertanggungjawab.

Lalu saya katakan, “Terimakasih atas kejujuranmu. Kami bangga padamu. Inilah nilai dasar pembinaan calon imam di seminari kita: kejujuran, tanggung jawab dan kedisiplinan”.

Lanjut saya, “Saya akan mengganti uangmu itu”. Dia menjawab, “Nggak usah, Rama. Saya yang salah koq. Saya bertanggungjawab”.

“Ga pa pa, sing ayem wae. Besok uangmu saya ganti”, jawabku.
“Uang saya tidak perlu diganti, Rama. Bagaimana jika uang rama disumbangkan untuk kas angkatan saja”, tuturnya. Dan saya pun mengiyakan.

Mengakui kesalahan dan berkata jujur adalah sebuah keutamaan. Dalam bacaan Injil hari ini Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi, berkata dengan jujur tentang siapa Yesus. Nikodemus menjadi contoh seorang “ksatria”.

Berani mengakui siapa Yesus dan berani melawan arus besar kelompok pemuka agamanya dan bangsanya sendiri. Biasanya ahli Kitab dan para pemuka agama Yahudi berkonflik dan berseberangan dengan Yesus, karena merasa otoritas dan wibawanya kalah dengan Yesus.

Nikodemus menjumpai Yesus pada malam hari dapat dipahami. Karena ada unsur kebijaksanaan, dimana kekacuan mungkin bisa terjadi jika pertemuan ini diketahui oleh banyak orang, mengingat status Nikodemus sebagai tokoh agama yang terpandang.

Secara jujur Nikodemus menyebut Yesus sebagai Guru yang diutus Allah. Diungkapkan, “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah”. Bagi Nikodemus, Yesus adalah orang yang hebat dan luar biasa. Dia mendasarkan pandangannya ini sama seperti pandangan umum orang-orang Yahudi bahwa mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus mengindikasikan bahwa Ia adalah seseorang yang diutus Allah.

Pertanyaan refleksinya, Beranikah kita mengakui kehebatan orang lain secara jujur? Mari kita kembangkan sikap ‘ksatria’ dan berani berkata jujur dalam hidup sehari-hari. Meminjam istilah KPK, berani jujur hebat! Berkah Dalem dan Salam Teplok dari Bumi Mertoyudan.

# Y. Gunawan, Pr

Similar Posts