Menjadi Sahabat dalam Menegaskan Panggilan

Saya memilih judul catatan ini “Menjadi Sahabat dalam Menegaskan Panggilan” karena memang itulah yang saya harapkan terjadi berkenaan penghayatan hidup saya dalam tugas di Seminari maupun berkenaan dengan kebersamaan dan persahabatan yang berjalan di Seminari.  Itu pula yang secara kuat saya rasakan setelah saya, di awal tugas, melakukan perjumpaan pribadi dengan masing-masing dari teman-teman semua. Peran dan hal yang mesti terjadi di Seminari adalah proses yang membantu mengembangkan dan mengklarifikasi panggilan. Staf dan sesama teman berperan dalam pokok penting ini.

Pada tanggal 14 Juli 2018 ketika menerima kepastian untuk pindah tugas perutusan ke Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang dari Kolese St. Ignatius Kotabaru, Yogyakarta. saya sedang menemani retret para frater dan bruder Jesuit dengan tema “Kesediaan Apostolis Sahabat dalam Perutusan”. Selama retret delapan hari (octiduum), selain memberikan puncta setiap malam, saya juga mengikuti sharing kelompok bimbingan saya, teologan tahun I (2018/2019). “Rasanya, Tuhan juga memberi kesempatan merenungkan tugas perutusan baru saya pada hari-hari ini”. Demikian saya katakan kepada teman-teman dalam kelompok sharing dan tentang hal ini saya merasa mendapat peneguhan dari Dam, Harry, Wylly, Deo dan Wahyu. Dan ketika saya mencoba membayangkan apa yang akan saya buat di Seminari, saya menemukan rumusan yang umum dan bisa menjadi dasar bersikap di tempat pembinaan ini, yaitu mencintai, menemani dan mendoakan, baik para seminaris maupun keluarganya.

Memanggil memori untuk menghayati masa kini

Pada hari-hari di seputar kepastian tugas perutusan dan ketika saya membayangkan tugas baru di Seminari Menengah Mertoyudan yang muncul adalah memori masa-masa saya sendiri berada di Seminari (1982/1983 – 1985/1986). Secara sadar saya memanggil tidak untuk memasung diri dalam alam nostalgia tetapi supaya makin membenamkan diri ke dalam dunia masa kini, secara khusus dunia seminaris. Itulah mengapa hal pertama yang saya buat ketika tiba di Seminari adalah mengadakan perjumpaan pribadi satu persatu dengan semua seminaris.  Saya mulai dengan angkatan MU 104 dan perjumpaan dengan teman-teman semua meneguhkan anugerah khusus bekerja di rumah formasi, yaitu menjadi saksi demikian dekat bagaimana Tuhan berkarya pada anak-anak muda. Di Seminari mengawali perjalanan persahabatan untuk menegaskan panggilan dengan perjumpaan ini dan membangunnya melalui kehadiran formatif bersama-sama di Seminari. Perjumpaan dengan teman-teman MU 104 juga membuat saya segera kerasan dalam menjalankan tugas di Seminari bersama para staff baik rama, bruder, frater suster, bapak ibu guru maupun rekan-rekan donatur dan pemerhati Seminari.

 Saya juga mengagumi penuh syukur keberadaan Seminari yang sudah melampaui perjalanan 100 tahun. Saya ingat rentang angkatan  (1979/1980, 1980/1981, 1981/1982) tiga tahun di atas angkatan saya, dan (1983/1984, 1984/1985, 1985/1986) tiga tahun di bawah angkatan saya. Dalam rentang waktu tersebut terdapat empat pimpinan keuskupan: Uskup Ketapang, Mgr. Pius, (1983/1984), Uskup Bandung, Mgr. Anton (1984/1985), Uskup Semarang, Mgr. Robertus (1980/1981), dan Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus (1982/1983). Kenyataan ini mengingatkan kebenaran visi yang tertulis di dalam Pedoman Pembinaan Seminari Menengah Mertoyudan, yaitu menjadi rumah formasi bagi para calon gembala Gereja yang dengan gigih dan gembira mencintai Yesus Kristus, haus akan pengetahuan, dan berhasrat besar untuk melayani. Sudah barang tentu selain para pelayan pemimpin Gereja yang menjadi bagian dari hirarki Gereja, banyak alumni Seminari yang menghayati panggilan hidupnya dan memperjuangkan nilai-nilai luhur yang diserap selama formasi di Seminari di dalam keluarga, lingkungan kerja serta lingkungan masyarakat luas. Saudara-saudara itu bersama keluargnya menghayati panggilan menjadi garam dan terang masyarakat.

Dimensi yang tetap dan yang berubah dari pembinaan calon imam

Sebagaimana tertulis di dalam Pastores Dabo Vobis (1992), Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Pembinaan Imam dalam Situasi Jaman Sekarang, ada aspek hakiki dari seorang imam yang tidak berubah, yaitu “menyerupai Kristus” (PDV 5), tetapi pada saat yang sama formasi calon imam mesti menyesuaikan diri dengan jaman dan situasi kehidupan yang dinamis oleh karena perubahannya. Dalam formasi calon imam kita diajak untuk menjadi seterbuka mungkin terhadap terang Roh, mengenali kebutuhan-kebutuhan rohani terdalam masyarakat serta mengenali arus masyarakat masa kini yang mempengaruhi cara merasa dan berpikir orang (bdk. PDV 5). Berkenaan dengan situasi jaman sehari-hari kita hidup di dunia digital dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (Information and Communication Technology – ICT).  Di dunia yang ditandai oleh kemajuan ini kita rasakan betul bahwa yang kita hadapi itu bukan hanya sebuah alat dan sarana tetapi juga paham manusia, kepentingan-kepentingannya serta impian-impiannya. Dalam hal ini kadang kita hanya mengalami gejala-gejalannya yang dalam formasi hanya membuat lelah, seperti misalnya, ketekunan dan daya tahan yang tidak kuat, fokus dan perhatian yang tidak panjang, komitmen yang sementara dan loyalitas yang lemah.  Tentu saja pada saat yang sama kita juga merasakan adanya keleluasaan dan kemudahan serta kecepatan dalam mengakses informasi; adanya kreaktivtas dan variasi yang begitu kaya dalam menyentuh dan menyapa hati. Tetapi semuanya itu, dipandang perspektif formasi Seminari Mertoyudan dalam tiga pilarnya Sanctitas, Scientia dan Sanitas para seminaris dan lulusan Seminari dipanggil untuk terus membina diri ke kedalaman spiritual (spiritual depth) dan kedalaman  intelektual (intellectual depth) yang menyatu dengan kematangan pribadi serta persaudaraan yang sehat dan kokoh. Kedalaman spiritual ditandai oleh kesediaan untuk membuka diri terhadap karaya pembaharuan diri oleh rahmat Allah, sementara kedalaman intelektual dimengerti sebagai kesediaan untuk dengan kekuatan akal budi menebus fakta dengan superfisialitas yang menyelimutinya sehingga kita sanggup untuk terus mencari dan menemukan solusi-solusi segar, relevan dan efektif terhadap pesoalan bersama. Kedalaman spiritual dan intelektual ini yang akan membawa suatu ikatan kebersamaan solid sehingga penuh optimisme masuk dan memeluk dunia digital yang menjadi habitan hidup manusia jaman ini.

Berkenaan dengan tiga pilar proses formasi Seminari tersebut, kebiasaan para seminaris sejak masuk di Seminari untuk setiap kali menyebut, “St. Petrus Canisius, doakanlah kami”, kita maknai sebagai pembiasaan untuk membangun kesadaran afektif akan inspirasi dan  semangat tokoh Gereja di jaman Reformasi ini. St. Petrus Canisius menjadi unggul pada jamannya dalam menghadapi tantangan jaman karena membentuk dan membekali diri sebagai rasul Gereja abad XVI dengan kedalaman hidup rohani, kekayaan ilmu serta kualitas-kualitas manusiawi pribadinya. Tiga semangat yang mewujud dalam tiga aspek penting hidup tersebut menjadi kunci kontribusi istimewa St. Petrus Canisius di jaman pergolakan reformasi kaum protestan abad XVI.  Kedalaman hidup rohani, kekayaan ilmu serta kualitas manusiawi memungkinkan St. Petrus Canisius menggerakkan reformasi dari dalam Gereja sesuai dengan semangat St. Ignatius Loyola dan para sahabatnya yang mendirikan Serikat Jesus.

Tiga pilar formasi Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan, Sanctitas, Scientia dan Sanitas membantu proses formasi para seminaris baik terutama sebagai kerangka formasi dan tatapan langkah bersama seluruh staf Seminari maupun arah formasi para seminaris dalam bertekun menanggapi panggilan. Tiga pilar formasi Sanctitas, Scientia dan Sanitas, di satu sisi sebagai aspek kehidupan para calon imam merupakan sesuatu yang tetap, di sisi lain sebagai aspek kehidupan yang mesti membadan dalam seorang pribadi dengan mengikuti gerak perubahan jaman bersama tantangan merupakan sesuatu yang dinamis dan terbuka terhadap perubahan. Keterbukaan tersebut berarti menafsirkan dan memaknai secara baru tiga pilar formasi Seminari tersebut dan bisa juga berarti menancapkan nilai-nilai tetap yang telah teruji oleh waktu dan pengalaman dalam diri anak-anak muda seminaris. Karena itu dalam merumuskan profil ideal lulusan Seminari terkandung di dalamnya unsur-unsur yang tetap dari  Sanctitas, Scientia dan Sanitas dan unsur-unsur yang berubah.

Unsur-unsur yang tetap dari pilar Sanctitas adalah bahwa seminaris berkembang dalam hal hidup rohani, panggilan imamat serta menggereja sebagaimana diperlihatkan dalam kebiasaan berdoa, perayaan sakramen, bimbingan rohani, bacaan rohani serta akrab dengan Kitab Suci dan buku-buku rohani. Semua itu ditopang oleh kebiasaan hening yang terus dilatihkan dalam pelbagai kesempatan. Dari pilar Scientia, seminaris memiliki keunggulan dalam olah pengetahuan, kebiasaan studi serta wawasan akademis sebagai bagian dari cara bertindaknya. Dari pilar Sanitas, seminaris memiliki kesehatan jiwa dan raga serta keseimbangan pikiran dan perasan, kemampuan menerima dan mengolah diri, kemampuan berelasi serta pandangan dan penghayatan yang sehat dalam kehiduan seksual.

Tiga pilar tersebut memperlihatkan pendasaran formasi calon imam di Seminari Mertoyudan yang utuh dan ini sejalan dengan bidang-bidang yang disebut oleh PDV mengenai pembinaan calon imam, yaitu pembinaan manusiawi yang ditandai oleh kematangan afektif, pembinaan rohani yang intinya adalah menyatu akrab dengan Allah (familiaritas cum Deo), pembinaan intelektual yang membantu memahami dan merefleksikan iman serta pembinaan pastoral yang membantu para imam untuk menyatu dalam cinta Sang Gembala Baik dengan mengenakan cara bertindaknya (PDV 43-59).

Kolaborasi sebagai cara bertindak dalam proses formasi: dengan keuskupan, paroki, orang tua, donatur, dan alumni

Ketika seorang anak merasakan dorongan panggilannya dan menanggapi positif dengan melamar masuk Seminari dan diterima lalu menjalani hidup di Seminari, tidak berlebihan kita menamai bahwa terjadi sebuah peristiwa iman. Yang kita imani adalah karya Allah yang terus berjalan untuk merawat, mencintai dan mengembangkan Gerejanya melalui Seminari. Karena itu memasukan diri dalam keterlibatan pembinaan di Seminari bisa dihayati juga sebagai pewujudan iman yang sedang berlangsung. Dari sisi keterlibatan kita akan menemukan pelbagai elemen Gereja, yaitu keuskupan, paroki, orang tua, donator, pemerhati Seminari dan alumni. Kalau teman-teman MU 104 memilih bingkat pengalaman kebersamaannya dalam tema amore perfetto, dalam jalinan keterlibatan banyak orang sebagai pewujudan iman inilah amore perfetto itu berjalan.

Dalam hal ini, para staf Seminari menghayati tugas dan tanggungjawabnya dengan kolaborasi, tidak saja dalam arti bahwa orang di luar Seminari adalah kolabor para staf, tetapi lebih-lebih dialami kebenaran bahwa orang-orang yang terlibat adalah para kolaborator Tuhan yang sedang menjalankan karyanya, pembinaan di Seminari. Dan sudah semestinya keterlibatan ini memunculkan rasa syukur bahagia bahwa Tuhan berkenan memasukkan kami di dalam lingkaran orang-orang yang sedang ambil bagian dalam karya Tuhan. Disisi lain, kolaborasi adalah juga perspektif baru dalam cara bertindak baik dalam memberikan dampingan formatif maupun dalam kerjasama di antara staf yang terlibat sehari-hari dan sahabat-sahabat di luar Seminari seperti orang tua, donatur, alumni dan paroki dengan pastor paroki bersama umatnya. Selain kolaborasi, bagian dari perspektif baru ini adalah diskresi. Mengingat bahwa bisnis utama Seminari adalah pembinaan calon-calon imam, diskresi ditempatkan menjadi perspektif cara bertindak yang utama. Artinya, melalui seluruh kegiatannya para seminaris dibantu untuk mendiskresikan panggilannya, membuat penegasan rohani tetang panggilannya dengan tiga pilar Sanctitas, Scientia dan Sanitas. Di sisi lain, para formatores terus menerus berdiskresi tentang wujud dan cara dampingan formatif yang mengena, efektif dan transformatif. Tidak ada tindakan formatif yang lebih merugikan seminaris daripada kebekuan formatif menerapkan kebiasaan aturan dan pedoman umum tanpa penyegaran dan kreativitas yang muncul oleh karena hidup bersama seminaris serta sabar dan sadar akan ritme dan proses tumbuh masing-masing seminaris yang tidak sama. Karena itu seorang perlu memiliki kesadaran formatif akan dirinya dengan terus menjalankan ongoing formation. Tuntutan diskresi terhadap formator menantang formator untuk belajar terus menerus dan rendah hati mendengarkan dan mengikuti bimbingan Roh. Sementara orang tua, donatur, paroki bersama umatnya, dan alumni diundang untuk memikirkan dan mewujudkan hal-hal dan sikap yang mendukung proses serta aktivitas formatif para seminaris. Dari perspektif diskresi ini selanjutnya dibangun kolaborasi dan jejaring. Artinya, kolaborasi bukan sekedar hal teknis keterlibatan menjalankan proyek mengelola Seminari tetapi seseorang sebagai pribadi beriman merasakan kesadaran mendalam akan panggilan Tuhan ikut serta dalam missio Dei, mencintai secara nyata dan mendoakan para seminaris. Kolaborasi dan jejaring secara sosiologis dan dari sisi tuntutan cara bertindak masa kini adalah juga merupakan perspektif cara bertindak yang relevan. Pada jaman ini, yang ditandai oleh koneksi dan semuanya dengan mudah terhubung serta kecepatan arus informasi juga demikian cepat, menjalankan tugas-tugas luhur dalam segala tantangan dan kesulitannya tidak pernah bisa dilakukan seorang diri. Dalam menjalankan tugas formasi orang muda kebutuhan untuk dibantu dan bekerjasama pada jaman ini menjadi bagian tidak bisa diabaikan; bahkan mesti diusahakan dan dikembangkan dengan dukungan kemajuan ICT.

Mencintai, menemani dan mendoakan

Membayangkan hal konkret yang akhirnya mesti dibuat terus menerus dan sehari-hari, seperti nafas kehidupan, formator di Seminari, saya merumuskan tiga hal yang mesti saya tuntutkan dan saya usahakan pertama-tama dari saya sendiri. Dalam kebersamaan seharian dan ketulusan perhatian, tiga hal tersebut masih terus perlu diwujudkan secara kreatif dan komunikatif serta menyentuh. Tiga hal yang saya maksud adalah mencintai, menemani dan mendoakan. Sebagai tindakan formatif, tiga hal tersebut pertama-tama muncul karena rasa hormat respect terhadap peristiwa iman seorang anak muda, pada jaman ini, dari keluarga tertentu ari lingkungan pergaulan tertentu telah membuat keputusan iman menanggapi suara panggilan dari dalam (the voice that calls within) untuk menjadi imam Tuhan.

Tindakan formatif mencintai, menemani dan mendoakan ini membutuhkan sebuah paradigma formatif hadir bersama (being with). Pentingnya kehadiran intens dan sehari-hari sering dilemahkan oleh paradigma formatif  “proyek”, yaitu hadir hanya dalam momen-momen tertentu yang diprogramkan dan bukan keseharian. Dalam paradigma formatif “proyek” sering mengemuka ungkapan bahwa para seminaris akan lebih senang dan bebas bila diajak membuat proyek tertentu tanpa ada formator. Sementara, dalam paradigma formatif hadir bersama, ungkapan tersebut hanya benar pada lapis permukaan dan mengena pada tataran suka tidak suka yang memang kuat melekat dan menyertai anak muda jaman ini. Rasanya paradigma formatif hadir bersama memiliki keunggulan dalam menjamin kesejatian serapan nilai-nilai formatif. Paradigma itu menjadikan seorang formator mengenal dan menemukan kemajuan, kemandegan atau kemunduran seorang seminaris tidak dalam konteks sedang mau mengobservasi tetapi melalui perjumpaan sehari-hari. Paradigma formatif hadir bersama memungkinkan formatof di dalam menilai seorang seminaris memperhitungkan proses dan kemajuan personal yang kadang terhenti dalam kemandegan lama untuk selanjutnya bisa berkembang dan pertumbuhan pribadi ditandai oleh karakter pribadi yang kuat. Dalam hal ini, paradigm formatif hadir bersama memungkinkan cura personalis (care for person) sehingga terbangun suasana formatif di dalamnya seorang seminaris mengalami dan menjalankan cura personalis dalam hidup bersama.

Bagi formator, paradigma formatif hadir bersama membantu menjernihkan identifikasi wilayah dan tema pergulatan seorang seminaris, khususnya membedakan antara persoalan-persoalan psikologis yang perlu diikuti oleh treatment psikologis dan persoalan hidup rohani yang perlu ditangani dengan olah rohani beserta instrumen-instrumennya. Pembedaan spiritual formation dan human formation beserta treatment formatifnya berjalan tepat ketika pengenalan terjadi dalam kebersamaan keseharian. Dalam menjalankannya, untuk hal ini, formator juga akan tahu batas kemamuannya serta tahu kapan dan kepada siapa meminta bantuan. Tahu dan menerima menerima keterbatasan dan selanjutnya merujuk atau meminta bantuan kepada pihak lain di luar Seminari adalah bagian dari kerendahan hati yang juga mesti menjadi sikap dan iklim formatif pendampingan para formatores.

Dalam konteks perkembangan seorang pribadi menuju kepenuhan panggilan imamat, dinamika proses formasi seminaris menyertakan tiga aspek perkembangan, yaitu sebagai pribadi manusia pada umumnya (Jw: salumrahe), hidup seorang pribadi kristiani dan seorang imam. Kondisi Seminari dengan keterarahan kesadarannya kadang bisa membuat seorang seminaris melompat terlalu cepat ke kesadaran sebagai imam dengan kurang memperhatikan perkembangan sebagai anak muda pada umumnya. Paradigma formatif hadir bersama membantu mengenali secara alami aspek yang kadang terabaikan ini sehingga proses formasi calon imam di Seminari sepenuhnya adalah juga proses formasi perkembangan manusiawi seorang anak muda. Formasi di Seminari menempatkan pergulatan anak muda pada umumnya dalam arah  kesaksian hidup orang terpanggil untuk menjadi imam. Dalam bahasa amore perfetto, cinta itu menyempurna di dalam hidup sehari-hari dan ungkapan-ungkapan manusiawi. Panggilan menjadi imam tidak membuat seorang anak muda menghindar dari kemanusiaannya, tetapi memberi makna dan keterarahan kemanusiaan ini bagi persembahan diri untuk cinta dan pelayanan Tuhan.  

Amore perfetto

Saya mencoba memahami dan memaknai amore perfetto dalam konsteks perjalanan pembinaan Seminari Mertoyudan dan tradisi panjang menjalankan proses pembinaan itu. Tujuan Seminari Menengah adalah membangun perkembangan kedewasaan manusiawi dan Kristiani yang mengungkapkan benih-benih panggilan untuk imamat pelayanan. Teman-teman semua telah mengembangkan kedewasaan manusiawi dan Kristiani tersebut sesuai dengan tahapan usia manusiawi dengan kemerdekaan batin untuk menanggapi rencana Tuhan. Bahkan tentang pembinaan di Seminari bagi calon imam dengan mengutip PDV, Ratio Fundamentalis Instituionis Sacerdotalis (The Gift of the Priestly Vocation) menunjukkan bahwa di tempat tidak ada Seminari Menengah, setiap Gereja lokal mesti memberi perhatian pada tugas penting menemani anak-anak remaja dengan mengembangkan pendekatan-pendekatan baru dan menfasilitasi terjadinya pengalaman inisiatif pastoral kreatif. RFIS mengingatkan perlunya menemukan para calon imam dalam kelompok-kelompok panggilan orang muda, komunitas-komunitas diskresi panggilan, kolese-kolese katolik, dan kelompok-kelompok orang muda (PDV 64, RFIS 18). Dengan demikian, amore perffetto di satu sisi tumbuh dan berkembang dalam diri teman-teman MU 104 karena usaha-usaha  merawat dan mengklarifikasi panggilannya dan melalui perjalanan empat tahun di Seminari Mertoyudan persahabatan angkatan yang makin menyempurna sebagaimana tampak di dalam tanggung jawab bersama, respect terhadap keberagaman dan keunukan baik karena latar belakang, bakat dan kemampuan maupun corak kepribadian dan tanggungjawab terhadap diri sendiri, sesama serta terhadap Seminari sebagai rumah formasi.

Sebenarnya tidak ada amore perffeto yang bisa disematkan pada kasih di antara kita. Untuk kita paling jauh modalitasnya adalah hampir; jadi amore quasi perffetto. Sebab, kasih yang sempurna hanya pada Tuhan atau Tuhan itu sendiri: “Tidak ada kasih yang lebih besari daripada kasih seorang yang telah memberikan nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya” (Yohanes 15:13). Artinya, dalam membangun kasih sebagai sahabat dalam menegaskan panggilan kasih sempurna Tuhan yang menjadi acuan dan pendasarnnya. Dengan memperhatikan pergulatan menuju kesempurnaan, bermakna juga mengatakan usaha menghayati kasih di Seminari bersama para sahabat ini kasih sempurna Allah sendiri yang menjadi pendorongnya dan arah kesempunaannya. Dan amore perffetto itu kasih Allah sendiri yang dirasakan memanggil untuk diikuti dan dengan demikian di akhir Seminari terus mendekatkan dan mengarahkan diri ke amore perfetto Tuhan sendiri.

Penutup

Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan telah memiliki tradisi dan pengalaman panjang di dalam formasi para seminaris. Tradisi dan pengalaman ini menjadikan Seminari secara dinamis mengombinasikan unsur yang tetap dan unsur yang terbuka untuk berubah dari tiga pilar formasinya, Sanctitas, Scientia dan Sanitas. Mengikuti inspirasi St. Petrus Canisius pelindungnya, tiga pilar tersebut menemukan gemanya dalam usaha memiliki kedalaman rohani (spiritual depth), kedalaman ilmu (intellectual depth) dan kualitas-kualitas manusiawi yang unggul. Dari tiga pilar yang ada, Sanitas sendiri dipahami secara luas lebih daripada sekedar kesehatan jasmani rohani tetapi juga sosialitas baik dalam wujud kemampuan dan kesediaan membangun relasi sosial lengkap dengan ketrampilan-ketrampilan terus mengolah diri berbekal kematangan sikap dalam mengenal, menerima dan mengolah diri lengkap dengan segala kerapuhan dan keunggulan manusiawinya maupun dalam berelasi dan membawakan diri di dalam kehidupan bersama. Dalam konteks dunia dan budaya digital masa kini, pilar Sanitas juga mencakup kemampuan untuk di satu sisi memeluk fasilitas dunia masa kini sekaligus bersedia mengambil jarak. Dalam semua itu, iklim formasi yang terus dibangun, dirawat dan dikembangkan adalah trust atau kepercayaan yang memungkinkan relasi terbuka, jujur dan tulus serta respect atau rasa hormat di dalamnya seorang seminaris mengalami Allah yang terus berkarya pada sesama seminaris dan para formator serta staf Seminari. Teman-teman Angkatan 104 telah mengalami kebenaran formasi Seminari Mertoyudan yang telah memiliki tradisi panjang dengan memetik buah-buah formasinya sekaligus terus membuka diri terhadap tuntutan dan tantangan jaman yang mendesak untuk tidak bisa tidak membekali diri dengan kedalaman rohani, ilmu dan kekuatan persahabatan sebagai angkatan. Profisiat. Benih yang ada telah ditumbuhkan dan dikembangkan sampai akhirnya ada keutamaan-keutamaan baik menyangkut Sanctitas, Scientia dan Sanitas untuk dikembangkan pada tahapan formasi berikutnya maupun di tengah masyarakat bersama lebih banyak lagi orang.

Akhirnya, berbekal inspirasi ungkapan amore perffetto semoga teman-teman tumbuh di dalam mencintai dan melayani Tuhan di jaman ini. To live is to love, to love is to serve. Cinta sempurna Tuhan sendiri yang terus menginspirasi dan menyemangati sebab seperti kata St. Ignatius Loyola, ketika seorang di dalam hatinya membawa serta Tuhan, orang tersebut membawa serta surga di mana pun mereka pergi dan berada (“Those who carry God in their hearts bear heaven with them wherever they go”,  St. Ignatius Loyola).

Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan
5 Februari 2019

L. A. Sardi S. J.

* Tulisan ini saya susun sebagai bagian dari L’Amore Perfetto, buku kenangan Angkatan
104 yang selesai menjalani formasi di Seminari selama empat tahun
(2015/2016-2018/2019).

Similar Posts