Dari Mata Keledai
Minggu Palma: “Dari Mata Keledai”
(Bacaan:Lk.19:28-40)
Dari ikatan ini, aku sudah menunggu lama rasanya. Ingin aku segera dilepaskan dari ikatan yang membosankan.
Tiba-tiba kulihat ada orang mendekatiku, melepaskan tali ikatan.
Tuanku melihatnya. Tuanku berteriak dari halaman rumah, “Mengapa melepaskan Keledai itu?”
Kata orang itu, “Guru memerlukannya.” Lalu dibiarkannya aku lepas dari tambatan ikatan itu. Kini aku diajak menuju ke dekat gerbang kota.
Dari tempat yang disebut Bethfage, tempat biasanya orang memeras anggur, orang yang disebut Guru dan Tuhan memakai aku.
Biasanya aku dipakai untuk membawa beban. Badanku kecil. Tetapi aku lumayan kuat membawa beban orang. Justru aku senang membawa beban. Aku merasa berguna, daripada sekedar jadi bahan ejekan orang dengan kata-kata, “Dasar Keledai! “. Itu ejekan yang merendahkan martabatku sebagai keledai. Aku menyadari diri bahwa aku bukan kuda. Aku juga bukan unta yang anggun dan perkasa, yang menjadi kendaraan para raja dan orang-orang kaya.
Pada dasarnya aku hanyalah kulit panggul.
Jarang sekali aku membawa beban seorang lelaki. Paking-paling anak-anak atau ibu-ibu. Tetapi sekarang aku diminta membawa beban lelaki berambut panjang, berjambang yang sorot matanya berwibawa namun lembut. Aku senang mendapat kesempatan seperti ini. Orang itu bernama Yesus.
Ketika mulai berasa di punggungku, Yesus duduk dengan anggun. Sambil tersenyum padaku, tangannya menyentuh leherku tanda ia sangat peduli padaku.
Oh, betapa bahagia aku mendapatkan Dia di punggungku. Aku tidak merasa Dia sebagai beban berat. Yesus itu beban yang meringankan langkahku.
Kulihat banyak orang di sepanjang jalan masuk kota. Orang bersorak, “Hosanna! ” Untuk menyambut Yesus.
Aku makin bangga dipakai Yesus. Aku makin gembira membawa Yesus. Aku ikut merasakan sukacita orang banyak.
Lihat, orang-orang tidak hanya menggelar daun-daunan di jalan, bahkan pakain mereka pun dihamparkannya di jalan.
Ku tengok wajah Yesus. Dia renang, tersenyum kepada banyak orang. Padahal, kudengar omongan orang yang melepaskan raki ikatan tadi, banyak pemimpin agama mau menangkap Yesus untuk dihukum mati.
Kukirim wahah Yesus lagi, tak ada kekhawatiran. PandanganNya lurus ke depan.
Di sela-sela sorak orang banyak itu, kulihat ada orang-oeang berjubah mewah bergerombol membicarakan sesuatu. Kadan dahi mereka berkernyit. Merekalah orang elit agamawan yang mau membunuh Yesus. Ya, mereka para pemimpin agama Yahudi yang tampak kemarahannya yang tertahan.
“Hosanna! Hosanna! Terpujilah yang maha tinggi! ” Sorak orang banyak makin menggelegar.
Sambutan meriah itu kemudian menjadi sunyi. Yesus turun dari pundakku.
Namun sebelum turun, aku merasakan tetesan keringatNya yang jatuh menyentuh kukutku. KeringatNya seolah berbicara padaku, “Sebentar lagi tibalah waktuku.”
KeringatNya itu seolah menjadi seperti tetesan air mata suka yang mendalam. Ada bau darah di keringatNya.
Aku kini merasakan mendung dukaNya. Suara bisik-bisik kudengar, “Dia harus mati.” Babakan ada yang mengatakan, “Lebih baik Dia dihukum mati dengan disalib seperti para penjahat.” Ada yang menyela, “Siksa dulu Dia! “
Ah, sebegitu besar kebencian orang padaNya. Padahal banyak orang bersorak menyambut dengan gempita. Rupanya aku membawa Yesus pada pintu gerbang penderitaanNya.
Aku bertanya dalam hati, “Untuk apa Yesus Engkau mau menderita?”
Aku bertanya lagi, “Mengapa Yesus, Engkau rela menerima penderitaan yang hina?”
Yesus sudah tidak lagi di punggungku. Namun, aku masih merasakan kehangatanNya. Mungkin, perasaan hangat bersamaNya di punggungku tak akan terhapus.
“Yesus, terimakasih atas kehanganMu. Terimakasih, aku boleh sedekat itu bersanaMu. Biarlah orang banyak merasakan kehangatan kehadiranMu yang tidak sia-sia.”
Aku menunggu dipakaiNya lagi dengan rindu. Entah kapan lagi. Tetapi aku merasa selalu rindu kata-kata itu: “Tuhan memerlukan.”
Rm. Markus Yumartana, SJ 13.4.2025



