Setia Merawat

Percik Firman : Setia Merawat
Minggu Biasa XVI, 19 Juli 2020
Bacaan Injil: Mat 13:24-43

“Memang biji sesawi itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi… Burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya” (Mat 13:32)

Saudari/a ku ytk.,
Pada tahun ajaran baru ini Seminari Menengah Mertoyudan mendidik 238 seminaris dari berbagai keuskupan. Mereka datang dari berbagai tempat dengan aneka latar belakang keluarga dari Medan sampai Jayapura.

Mereka juga datang dengan aneka macam motivasi awal masuk seminari. Tugas kami para formator adalah memurnikan motivasi mereka dan merawat sekaligus menyuburkan tumbuhnya benih panggilan imam dalam diri mereka, yang masih kecil.

Untuk berkarya di lembaga pendidikan seminari atau pendidikan pada umumnya, dibutuhkan ketekunan dan kesabaran dalam menyirami, memupuk, dan mendampingi pertumbuhan generasi muda saat ini. Pentingnya keteladanan dan komitmen dalam diri formator.

Juga perlu latihan demi latihan bagi seminaris setiap hari untuk merawat benih panggilan itu. Misalnya, kami melatih mereka merawat ikan-ikan di kolam, merawat tanaman di kebun, menyirami bunga dan rumput, memaknai pengalaman harian lewat menulis refleksi setiap hari, dsb. Meski demikian disadari masih ada kerapuhan dan egoisme diri yang kadang menghambat pertumbuhan dalam diri mereka.

Dalam bacaan Injil hari ini, Tuhan Yesus berbicara tentang perumpamaan Kerajaan Surga. Salah satunya diumpamakan seperti biji sesawi yang kecil. Pertumbuhannya diawali dari kecil, tumbuh menjadi besar dan bermanfaat bagi yang lain.

Biji yang kecil melambangkan ketidakmampuan dan kerapuhan kita. Kita butuh Allah. Tanpa Allah kita tidak bisa bertumbuh dengan baik. Biji sesawi juga melambangkan pertumbuhan. Walaupun yang paling kecil, ia dapat tumbuh menjadi yang paling besar dan memberikan kedamaian dan kesejukan. Burung-burung pun bisa bertengger dan bersarang di sana.

Yesus mau menggambarkan bahwa hidup kita yang tidak bertumbuh adalah hidup yang menjadi batu sandungan. Kalau kita mengaku Katolik, tetapi tetap berzinah, korupsi, judi, mudah memaki orang, egois, serakah dan munafik, itu bukanlah kehidupan yang Allah kehendaki.

Jadi, bila hidup Kekatolikan kita tidak bertumbuh, kita bukanlah orang Katolik yang sejati. Tetapi orang Katolik yang sejati adalah orang yang menjadikan Yesus Kristus sebagai dasar utama kehidupannya untuk bertumbuh dengan bersyukur dan berserah diri.

Keluarga mempunyai peranan sangat penting dalam pertumbuhan iman dan kepribadian seorang anak. Sosok ibu dan ayah itu penting. Keluarga menjadi “seminari” (tempat pembenihan) iman yang pertama bagi setiap anak. Meskipun disadari oleh Paus Fransiskus, tidak ada keluarga sempurna yang jatuh dari langit. Tidak ada orangtua yang sempurna. Tidak ada anak yang sempurna. Tidak ada isteri dan suami yang sempurna.

Dalam hidup ini kita butuh batu kerikil supaya kita berhati-hati. Kita butuh semak berduri supaya kita waspada. Kita butuh persimpangan supaya kita bijaksana dalam memilih. Kita butuh petunjuk jalan supaya kita punya harapan tentang arah masa depan.

Kita butuh pengorbanan supaya kita tahu cara bekerja keras. Kita butuh airmata supaya kita tahu merendahkan hati. Kita butuh dicela supaya kita tahu bagaimana cara menghargai. Kita butuh tertawa dan senyum supaya kita tahu mengucapkan terimakasih. Kita butuh orang lain supaya kita tahu bahwa kita tak sendirian.

Jangan selesaikan masalah hanya dengan mengeluh dan marah. Selesaikan dengan sabar, bersyukur dan tersenyum. Teruslah melangkah walau mendapat rintangan. Jangan takut saat tidak ada lagi tembok untuk bersandar, masih ada lantai untuk bersujud.

Sobat, marilah kita terus bertumbuh dan setia merawat (komitmen, relasi, iman, dan panggilan) sambil mengandalkan Tuhan. Berkah Dalem dan Salam Teplok dari bumi Mertoyudan.

# Y. Gunawan, Pr

Similar Posts