Amanat Upacara Hari Sumpah Pemuda Seminari Menengah Mertoyudan 2021

Kobarkan (Kembali) Api Sumpah Pemuda!
Paulus Prabowo, S.J.

Salam sejahtera untuk kita semua. Saya membagi refleksi singkat ini dengan penuh rasa syukur
dalam 3 rangkaian kata: BERSATU, BANGKIT, BERTUMBUH!

BERSATU!
Pemudi-Pemuda Indonesia, marilah kita bersatu! Pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind) kita. Orang yang selalu hidupnya dinamis, semangat bergerak, mau belajar, dan terlibat layak disebut “muda”. Para pemudi dan pemuda yang berkiprah di era pergerakan nasional tentu berkehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan. Sumpah Pemuda adalah kisah konektivitas dan inklusivitas keragaman identitas di awal lahirnya Indonesia sebagai bangsa. Penanda penting yang mewarnai Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, adalah penggunaan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa kongres. Yudi Latif pernah mengungkapkan, “Sumpah pemuda itu adalah keluasan. Keluasan horizon imajinasi kebangsaan yang mengatasi kesempitan primordialisme agama, kesukuan dan kedaerahan. Segala kesempitan dan keragaman dipersatukan ke dalam samudera keindonesiaan dengan ikrar yang mengakui tumpah darah satu, bangsa satu,
dan menjunjung bahasa persatuan”.
Laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, menunjukkan warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Ada tiga faktor penyebab yang membuat warganet Indonesia dinilai paling tidak sopan se-Asia Tenggara dalam riset yang dirilis oleh Microsoft ini. Pertama adalah hoaks dan penipuan sebanyak 47 persen; faktor ujaran kebencian 27 persen dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13 persen.
Fenomena tersebut mengundang kita berefleksi mengenai esensi Sumpah Pemuda yang kita peringati hari ini: per-SATU-an. Apakah kehadiran kita di dunia maya dan dalam perjumpaan langsung lebih mempersatukan, mempererat modal sosial atau justru lebih sering membawa perpecahan, membuat pemisahan, diskriminasi yang tidak etis dan kurang humanis: candaan yang berlebihan, cyber bullying, body shaming, dan seterusnya? Media sosial beralih menjadi media asosial. Seluruh identitas dan eksistensi kita diwakili oleh apa yang kita klik, kita like, kita tulis di kolom komentar. Di sisi lain, fenomena echo chamber, filter bubble dan algoritma pasar digital kalau tidak dikritisi justru membuat kita makin berkutat dengan diri sendiri: tertutup, sulit menerima perbedaan pandangan dan keragaman. “Aku klik maka aku ada,” demikian ungkapan Franky Budi Hardiman yang kiranya mewakili.
Teknologi yang sepatutnya dipakai untuk saling terkoneksi sekarang justru terancam
mendiskoneksi relasi interpersonal. Pengguna teknologi tak lagi merdeka karena cenderung
menjadi objek. Adiksi! Belum lagi menjamurnya manipulasi yang menimbulkan destruksi. Jika kita ingin Bersatu, kita perlu secara sadar berdiskresi, sudahkah kita merdeka dan berupaya untuk menjalin persatuan itu sendiri: komunitas basis wilayah, komunitas angkatan, komunitas Seminari, Civitas Akademika, keluarga dan tentu komunitas lain tempat kita berpijak?

BANGKIT!
Pemudi-Pemuda Indonesia, marilah kita bangkit! Jika sebelumnya Indonesia dinilai tengah
berada di era disrupsi, kini Indonesia memasuki era disrupsi ganda, yakni disrupsi digital dan disrupsi pandemi. World Economic Forum 2020 meyakinkan kita bahwa keduanya berpengaruh pesat terhadap lanskap kehidupan manusia sebagai digital citizenship. Jika tidak hati-hati, orang semakin berkompetisi, mengejar individualitasnya, terbakar ego dan ambisi pribadi. Homo homini socius beralih menjadi homo homini lupus. Manusia tak lagi ramah dan menjadi mudah marah.
Manusia yang dipanggil menjadi sahabat bagi sesamanya, kini justru menjadi serigala. Inikah citacita Indonesia? Persis ketika pandemi datang, kita perlu justru semakin merajut tenunan sosial yang ada. Gotong royong. Inilah nilai kunci yang sering diungkapkan Bung Karno. Bagi Anda, para Seminaris yang menjalani formasi online di rumah, sejauh mana Anda ikut membangun solidaritas dan berpartisipasi di dalam keluarga-masyarakat, untuk bangkit di tengah krisis ini? Pandemi seakan merangsek pertahanan hidup kita: sosial, ekonomi, politik dan me-reset begitu banyak dimensi hidup kita lainnya. Rhenald Kasali menganalisis bahwa era disrupsi ganda ini membutuhkan sikap adaptif, kegigihan, dan tahan banting, jatuh dan segera bangkit (resilience). Karena itu, jika kita melihat banyak orang kehilangan pekerjaan karena pandemi, keluarga kita yang berjuang untuk bangkit di tengah kesulitan ekonomi, bahkan kehilangan orang tercinta, apakah Anda para Seminaris masih tergoda untuk hanya sekadar rebah-rebahan aja? Perubahan tak cukup dapat direalisasikan hanya dengan rebahan. Tak perlu baperan, mulailah berperan!
Masihkan Anda tetap berdaya juang, adaptif, dan punya komitmen dalam menjalani formasi baik online atau offline? Menaati protokol kesehatan adalah bentuk partisipasi kita secara konkret. Memilih untuk membuat prioritas dan menyetop kebiasaan menunda (prokrastinasi) atau mengurangi bermain gim adalah upaya bangkit! Mampu merawat habitus baik di Seminari juga menyempurnakan usaha kita untuk bangkit. Sudahkah Anda bersikap jujur dan sungguh-sungguh menunjukkan komitmen dalam mengikuti pembelajaran? Sudahkah Anda merdeka, memberi rasa hormat (respect) pada guru dan teman yang sedang berbicara, atau kita sudah sibuk dengan diri sendiri dan enggan mendengarkan? Pemudi-Pemuda Indonesia, Sumpah Pemuda itu berisi tekad. Tekad dari mereka, kaum muda yang progresif; yang semangatnya terbakar oleh komitmen untuk perjuangan hidup berbangsa. Komitmen kebangsaan membangkitkan tekad untuk menaklukkan segala kesulitan. Upaya bangkit memerlukan komitmen. Ketika dihadapkan pada kesulitan dan tantangan, apa yang Anda lakukan, wahai Putra Seminari?

BERTUMBUH!
Pemudi-Pemuda Indonesia, marilah berakar dan bertumbuh! Sembilan puluh tiga tahun yang lalu, tepat tanggal 28 Oktober 1928, sebanyak 71 pemuda dari seluruh penjuru tanah air, berkumpul untuk mengikrarkan diri sebagai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yaitu, Indonesia. Sungguh, sebuah ikrar yang sangat monumental bagi perjalanan sejarah bangsa yang 17 tahun kemudian melahirkan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
Bagi para seminaris, kita hanya akan dapat bertumbuh dan berbuah baik jika kita punya akar yang dalam. Dalam formasi yang tidak mudah di tengah pandemi ini, sudahkah Anda membangun relasi yang dalam dengan Tuhan sendiri yang memanggil. Relasi yang dalam inilah yang akan membuat kita mampu bertumbuh dan akhirnya berbuah. Rawatlah habitus dan keutamaan yang sudah baik, kurangi/hentikan kebiasaan buruk atau godaan yang kerap membuat terpuruk; mulailah 3 menumbuhkan semangat muda serta niat yang baru. Berjumpa dan tinggal dengan Yesus akan membuat kita dijiwai oleh semangat kebangkitan: Kristus yang hidup, yang muda, yang dinamis dan mau bergerak serta merdeka untuk sebuah TRANSFORMASI. Kemerdekaan sejatilah yang akan memberi daya tumbuh. Kemerdekaan inilah yang menjadi lahan formatif yang subur untuk memanusiakan manusia muda. Kemerdekaan batinlah yang akan menumbuh segala keutamaan dalam diri kita. Api Sumpah Pemuda adalah semangat membangun bangsa dan merawat kemajemukan. Sudah seharusnya, Api “Sumpah Pemuda” ini kita kobarkan lagi. Jangan terlena oleh distraksi yang ada. Sembilan puluh tiga tahun silam, para pemudi-pemuda pernah bersumpah kepada Indonesia, akan bersatu dalam tumpah darah bangsa dan bahasa. Walau waktu terus berlari, disrupsi membayangi, dan zaman niscaya berganti, namun janji akan selalu menuntut komitmen dan tekad pribadi. Tak cukup bicara nasionalisme dengan menjadi penonton laga pertandingan badminton. Hai Putra Seminari, di rumah formasi ini Anda menempa dan membentuk diri. Di sinilah Anda meletakkan fondasi masa depan Gereja. Tak hanya itu, apa yang terjadi saat ini juga menjadi motivasi untuk berkomitmen mengasah budi, mempertajam nurani serta menggerakkan aksi kita sebagai calon Gembala di masa depan. Kontribusi terbaik bagi Gereja dan dunia dimulai sejak saat ini, bukan esok, lusa atau nanti.

Saya ingin menutup refleksi ini dengan ungkapan Ir. Sukarno:
“Jangan mewarisi abu sumpah pemuda, tapi warisilah api sumpah pemuda. Kalau
sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang
sudah satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir.”

Saatnya bersatu, bangkit dan bertumbuh! Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-93.

Similar Posts