Batu Sandungan
Percik Firman: Batu Sandungan
Minggu, 30 Agustus 2020
Bacaan Injil: Mat 16:21-27
“Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku” (Mat 16:24)
Saudari/a ku ytk.,
Apakah kaki Anda pernah tersandung batu? Bagaimana rasanya? Dalam hidup bersama apa saja biasanya yang menjadi “batu sandungan”? Bagaimana caranya agar hidup kita sebagai murid Kristus tidak menjadi “batu sandungan” bagi hidup bersama?
Dalam buku “Community of Hope (Menjadi Murid Yesus Mewartakan Pengharapan)”, Kardinal Ignatius Suharyo dengan sangat menarik mengungkapkan bagaiman proses pembinaan dasar para murid, pembinaan lanjutan (ongoing formation), pola pembinaan, tujuan pembinaan dasar dan buah-buah pembinaan.
Terkait dengan tujuan pembinaan dasar para murid, dinyatakan bahwa secara umum para murid pertama-tama dibina untuk menjadi pribadi yang dewasa, peka terhadap penderitaan orang lain dan berbelarasa.
Lantas, ke arah mana para murid dibina? Ada tiga arah, yakni Yesus ingin membina para murid menjadi pribadi-pribadi yang lepas bebas, siap menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah Bapa, dan mengajak para murid untuk mengerti salib.
Hal ini sejalan dengan fokus pembinaan calon imam di Seminari Mertoyudan. Para seminaris mendalami hidup doa dan keheningan sebagai jalan untuk mengenal, mencintai, dan mengikuti Yesus Kristus. Di sana ada 3 kata kunci dalam proses kemuridan, yakni mengenal, mencintai dan mengikuti Yesus.
Bacaan Injil hari ini menguraikan bagaimana jalan kemuridan itu harus dihayati oleh para rasul dan kita semua. Ada 3 syarat untuk menjadi murid Yesus, yaitu: menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti Yesus.
Menyangkal diri adalah menempatkan kebenaran dan kehendak Allah lebih tinggi daripada keinginan pribadi. Menyangkal diri berarti menyangkal keinginan daging kita, baik ego, ambisi, pikiran, perasaan maupun kehendak diri sendiri, lalu bertekad melakukan apa yang Tuhan Yesus kehendaki. Penyangkalan diri melibatkan pertobatan yang terus-menerus, karena penyangkalan diri melibatkan kerendahan hati – yang menjadi dasar dari pertobatan dan spiritualitas Katolik.
Memikul salib berarti mau menderita bagi Kristus dan siap menerima memanggul salibnya sendiri, bukan salibnya Yesus lho (kewanen kalau kita memanggul Salib-Nya Yesus). Menderita bisa berupa diperlakukan tidak adil, dibenci, dikucilkan, diintimidasi oleh orang lain karena status kita sebagai pengikut Kristus.
Mengikuti Yesus artinya taat melakukan firman Tuhan. Yesus pernah bersabda, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku.” Saat kita taat melakukan firmanNya, kita sedang melangkah menuju standar seperti Yesus. Pada saat kita berkomitmen untuk menjadi murid Yesus, kita sedang belajar untuk berpikir, berperasaan, dan berkehendak seperti Tuhan Yesus.
Dalam menghidupi jalan kemuridan itu, jangan sampai kita menjadi batu sandungan bagi orang lain. Kita adalah saudara atau sesama bagi yang lain. Homo homini socius. Dalam Injil tadi Tuhan Yesus menegur Petrus karena ingin menjadi batu sandungan bagi Yesus yang akan melaksanakan kehendak Allah.
Bahkan dengan keras dikatakan oleh Yesus, “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia”.
Kita perlu hati-hati dengan perilaku dan perkataan kita. Perilaku dan perkataan (komentar) kita bisa menjadi batu sandungan bagi perkembangan hidup orang lain. Bertindak dan berkata secara bijak kiranya menjadi hal yang harus terus-menerus kita perjuangkan dalam hidup keluarga, komunitas, lingkungan kerja, masyarakat dan media sosial.
Pertanyaan refleksinya, apakah Anda pernah menjadi batu sandungan bagi teman Anda dalam meraih keinginannya? Seberapa kuat komitmen Anda dalam menghidupi jalan kemuridan? Selamat berhari Minggu. Berkah Dalem dan Salam Teplok dari Bumi Mertoyudan.
# Y. Gunawan, Pr