Belajar Mengampuni
Percik Firman: Belajar Mengampuni
Minggu Biasa XXIV, 13 September 2020
Bacaan Injil: Mat 18:21-35
”Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Mat 18:33)
Saudari/a ku ytk.,
Untuk proses perjalanan formatio seseorang menjadi imam, tidak bisa dilepaskan dari peranan dan dukungan banyak pihak, seperti keluarga, pastor paroki, dewan paroki, umat, para staf, guru, karyawan maupun donatur.
Ada kasih, kebaikan dan perhatian yang tercurah dari banyak pihak dalam proses formatio tersebut. Demikian pula pengalaman saya.
Pengalaman merasa dikasihi, didukung dan dicintai itu sangat penting. Terlebih pengalaman dikasihi oleh Allah. Kasih Allah hadir dan bisa dialami melalui orang-orang yang dijumpai.
Hal ini perlu ditumbuhkan sejak dini bagi siapapun. Kita semua perlu belajar mengasihi. Harapannya, kasih itu bisa diteruskan dan ditularkan kepada sebanyak mungkin orang dari generasi ke generasi.
Dalam bacaan hari ini Tuhan Yesus mengajak kita semua untuk mempunyai kasih dan kemurahanhati seperti Allah Bapa telah lebih dulu mengasihi dan bermurah hati kepada kita.
Nasihat ini dikemas dengan sangat bagus lewat perumpamaan tentang pengampunan, dimana seorang raja mengampuni dan bermurah hati kepada hambanya yang berhutang 10.000 talenta (1 talenta = 6.000 dinar).
Diharapkan hamba itu juga berbuat kasih dan bermurah hati kepada kawannya yang hanya berhutang 100 dinar (1 dinar = upah pekerja sehari). Allah menghendaki agar kasih dan kemurahanhati itu menyebar dan terus ditularkan dari satu orang ke orang lain.
Salah satu wujud nyata mengasihi adalah mengampuni. Memang mengampuni orang yang sudah menyakiti hati itu tidak mudah. Butuh proses dan waktu.
Bacaan Injil hari ini bicara tentang ajakan Yesus untuk mengampuni 70×7 kali. Artinya, pengampunan yang tak terbatas. Siapa yang mengampuni, dosanya juga diampuni Tuhan. Siapa yang memaafkan, akan juga dimaafkan.
Paus Fransiskus pernah mengungkapkan pesannya terkait dengan pengampunan dalam keluarga.
Dikatakan demikian, “Tidak ada pernikahan atau keluarga yang sehat tanpa olah pengampunan. Pengampunan adalah penting untuk kesehatan emosional kita dan kelangsungan hidup spiritual. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sebuah teater konflik dan benteng keluhan. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sakit.”
Lebih lanjut, diungkapkan, “Pengampunan adalah sterilisasi jiwa, penjernihan pikiran dan pembebasan hati. Siapa pun yang tidak memaafkan tidak memiliki ketenangan jiwa dan persekutuan dengan Allah.
Mempertahankan luka hati adalah tindakan merusak diri sendiri. Itulah sebabnya keluarga harus menjadi tempat kehidupan dan bukan tempat kematian. Pengampunan membawa sukacita…Pengampunan membawa penyembuhan, sedangkan rasa sakit menyebabkan penyakit.”
Pertanyaan refleksinya, apakah Anda sungguh merasakan pengalaman dikasihi oleh Allah dalam hidup ini? Bersediakah Anda mengampuni orang yang pernah menyakiti hati Anda? Berkah Dalem dan Salam Teplok dari Bumi Mertoyudan.
# Y. Gunawan