Belajar untuk Kehidupan (Pamong Umum, 2019)
Rm. Dominico S. Octariano, SJ – Pamong Umum
Suatu sore, Romo Yohan bertemu dengan seminaris bernama Leonard,
“Leon kamu kok nggak belajar? Ini kan jam study?….”
“Nggak ada Ulangan atau Ujian Romo, buat apa belajar?….”
“Ya kan persiapan bisa jauh jauh hari, Leon….”
“Sama saja kok Romo, dapat nilainya sama… Mendingan ya belajar semalam sebelumnya saja Mo’, nggak usah repot repot dari sekarang….”
“Hmm…memang kalau belajar semalam sebelumnya, kamu bisa dapat nilai yang bagus gitu?…”
“Iya, lihat saja rapor saya Mo’, bagus semua..Itu hasil saya belajar semalam sebelumnya hehe…Tapi sebenarnya Mo’, setiap habis ulangan atau ujian, saya nggak ingat tu sebagian besar materi yang saya pelajari…Saya sadar saya cuma menghafal, lalu seiring waktu berjalan, semuanya seolah lenyap begitu saja…”
Pengalaman belajar dan memperoleh nilai yang dihayati oleh Leonard sering kita jumpai di Seminari ini. Pertanyaannya adalah, apakah para seminaris belajar demi mendapat nilai bagus?, apakah belajarnya para seminaris tujuannya adalah lulus KKM?. Jika tujuannya adalah kedua hal tersebut, maka bisa dibenarkan apa yang menjadi pilihan Leonard yaitu belajar hanya satu malam sebelum ulangan atau ujian.
Berbeda dengan apa yang dihayati Leonard, Seminari Menengah Mertoyudan sejak berdirinya memiliki tujuan pembelajaran yang sangat istimewa, yaitu Scientia atau Pengetahuan. Setiap seminaris, tanpa terkecuali diundang untuk belajar demi memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya. Pengetahuan sendiri bisa diartikan sebagai sesuatu yang mempengaruhi pola perilaku dan pola pikir kita, sehingga bisa kita gunakan untuk menjalani hidup. Sungguh tepatlah, pepatah Latin yang menggambarkan penghayatan nilai tersebut yaituNon Scholae Sed Vitae Discimus; kami belajar bukan untuk nilai, tetapi untuk kehidupan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah banyak membaca buku secara otomatis bisa menjadikan hidup seminaris jadi lebih kaya, lebih matang, lebih maju atau lebih baik? Jawabnya tentu saja, tidak. Dibutuhkan pengolahan khusus terlebih dahulu untuk menjadikan data informasi yang dibaca dari buku-buku atau pengalaman sehari-hari, bisa menjadi sebuah pengetahuan yang berdayaguna bagi kehidupan. Pengolahan khusus itulah proses refleksi ditambah pengendapan pribadi. Pengolahan dari data informasi menjadi sebentuk pengetahuan inilah yang tidak dimiliki oleh Leonard dalam contoh kasus di atas, sehingga apa yang dipelajari, lenyap begitu ujian atau ulangan selesai dilalui.
Sebentuk tantangan nyata dalam memperoleh pengetahuan adalah ketidakmampuan memilih fokus. Padatnya kegiatan-kegiatan di Seminari ini, seringkali membuat seminaris tidak memiliki waktu pribadi untuk melakukan proses refleksi atas data-data informasi yang ia dapatkan dari buku bacaan maupun dari pengalaman sehari-hari. Akibat selanjutnya, data informasi tak pernah diolah menjadi sebentuk pengetahuan dan kemudian tidak pernah berdampak apapun bagi kehidupan. Dengan kata lain penghayatan belajar untuk kehidupan, tidak terealisasi oleh karena kesibukan kesibukan yang didasari ketidakmampuan memilih fokus kegiatan.
Akhirnya saya mengajak para seminaris untuk berani dan sanggup memilih satu fokus kegiatan yang diminati dan dikembangkan secara mendalam. Konsekuensinya adalah berani berkata tidak pada sekian banyak tawaran pilihan, meski harus mengorbankan ambisi, rasa suka atau hobby. Dengan kemampuan memilih fokus, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak sempat berefleksi dan mengendapkan diri karena terlalu sibuk atau tidak memiliki waktu khusus. Mari kita sediakanwaktu khusus yang sangat berharga di tahun Scientia, untuk mengolah segala informasi menjadi sebentuk pengetahuan yang berdayaguna bagi kehidupan, karena kita sekali lagi, berada di sini bukan untuk belajar demi nilai, ranking atau prestasi, tetapi kita belajar demi kehidupanNon Scholae Sed Vitae Discimus.