Menjadi Insan Reflektif

Pandemi Covid-19 menuntut bahkan memaksa kita semua untuk memilih apa yang esensial dan menentukan prioritas dalam semua bidang kehidupan. Proses formasi di seminari kita pun tak bisa lepas dari tuntutan ini. Seandainya situasi pandemi ini semakin memburuk dan banyak hal terpaksa tak bisa dibuat lagi dalam proses formasi, hal esensial atau prioritas apa yang harus dilatihkan dalam proses formasi? Jawabannya adalah refleksi. Tulisan singkat ini terdiri dari tiga bagian, yakni mengapa refleksi esensial,  bagaimana melatihkannya dan penutup. Semoga tulisan ringkas ini dapat memberi roh dan arah formasi seluruh sivitas akademika Seminari Menengah Mertoyudan (SMM) ini bukan hanya untuk tahun ini tetapi juga untuk masa selanjutnya.

Mengapa Refleksi Esensial dalam Proses Formasi?

Edukasi refleksi di SMM bukanlah hal baru. Kita sudah punya tradisi panjang edukasi refleksi itu, tetapi tradisi itu tetaplah perlu terus dikembangkan sehingga lebih efektif dan berdayaguna membantu kita semua untuk tumbuh menjadi insan yang dewasa secara manusiawi dan kristiani dan pada akhirnya menjadi insan penegasan rohani (person of discernment). Paling tidak ada empat alasan mengapa refleksi harus ada dalam proses formasi.

Pertama, refleksi adalah salah satu kunci penting agar seseorang menjadi sadar dan mengalami perjumpaan langsung dan intim dengan Allahnya lewat pengalaman hidupnya. Perjumpaan mendalam inilah yang mampu mengubah, mentransformasi dan mendewasakan hidup kita. Refleksi berarti berusaha untuk lebih menyadari karya dan sentuhanNya lewat pengalaman keseharian kita. Singkatnya, sulit bahkan mustahil kita mampu menyadari sentuhanNya yang menumbuhkan tanpa kebiasaan berefleksi. Refleksi adalah kunci yang membuka ruang perjumpaan intim dengan Allah.

Kedua, arah dan tujuan  formasi adalah menjadi dewasa secara manusiawi dan kristiani. Kedewasaan ini bisa dicapai jika kita mampu ‘mengunyah’ dan belajar dari pengalaman dan pergulatan hidup harian. Refleksi berarti upaya melatih diri ‘mengunyah’ pengalaman hidup agar sari kehidupan itu menumbuhkan kita menjadi pribadi dewasa. Tanpa refleksi rasanya sulit kita tumbuh menjadi pribadi dewasa. Tanpa refleksi mustahil meraih profil seminaris seperti yang ditunjukkan dalam pilar 3 S. 3 S merupakan wujud lebih detil kedewasaan manusiawi dan kristiani. Refleksi adalah jalan menuju kedewasaan manusiawi dan kristiani.

Ketiga, arus jaman ini membawa kita pada pendangkalan hidup. Banjir informasi online (infobesity). membuat kita sekarang tanpa sadar menjadi pengumpul informasi, bukan lagi menjadi pengolah dan pembudidaya informasi. Akibatnya kita tahu banyak informasi tetapi informasi itu tidak menjadi personal atau interior knowledge (wisdom) yang mentransformasi hidup kita. Menjadi pribadi reflektif adalah upaya untuk kembali menjadi pembudidaya informasi bukan hanya menjadi pengumpul dan penelan informasi. Maka pada era digital ini refleksi menjadi semakin relevan untuk membangun kedalaman hidup dan kedalaman rohani.  Refleksi itu ibarat penggali sumur yang berjuang untuk mencapai sumber air kedalaman hidup dan kebijaksanaan.Keempat, masihlemahnya kemampuan refleksi lulusan SMM seperti ditunjukkan oleh para direktur TOR dan Magister Novisiat dalam survey Februari 2021. Salah satu titik lemahnya, refleksi para seminaris cenderung kurang otentik, apa adanya dan jujur mengungkapkan perasaan, pikiran, keinginan dan sensasi tubuh. Akibatnya cukup sering refleksi menjadi rasionalisasi  dan spiritualisasi yang hanya menjadi olah kata dan kepala saja, bukan olah hati yang mengembangkan pribadi. Kelemahan ini akan mengurangi efektivitas formasi pada jenjang berikutnya. Sulit membangun rumah yang kokoh jika fondasinya, yaitu ketrampilan berefleksi kurang terasah. Jika sekarang seminaris malas latihan refleksi dengan otentik, jangan heran di masa datang kita akan panen imam yang menyulitkan umat dan pemimpinnya serta keluarganya sendiri. Tegasnya, kalau seminari malas refleksi dengan otentik, sebaiknya segera mundur saja! 

Bagaimana Melatih Refleksi?

            Kami mengundang semua pihak, terutama orangtua seminaris, untuk terlibat dalam proses melatih ketrampilan refleksi ini. Itu sebabnya kami mengundang bapa ibu sekalian dalam lectio brevis ini. Di tengah pandemi ini, terutama saat kita dipaksa menjalankan seminari alternatif yang sungguh unik yakni seminari di tengah keluarga, peran bapa ibu menjadi sangat sentral. Orangtua sangat berperan membangun fondasi kepribadian anak. Bentuk utama dan dasar kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana anda berinteraksi, mendidik dan tumbuh bersama mereka. Ibarat rumah, bentuk dasar rumah itu ditentukan oleh bapa ibu, kami hanya memoles saja bukan membentuk kepribadian dasar itu lagi. Maka, kami sungguh berharap agar justru karena pandemi ini, bukan hanya seminaris tumbuh menjadi insan reflektif tetapi juga keluarga seminaris. Konsekuensinya, kami meminta  agar orangtua makin terlibat secara intensif dalam proses pembentukan seminaris/anak Anda. Anda adalah formator utamanya.

Kami ingin menawarkan tiga bentuk latihan refleksi ini untuk seminaris dan juga orangtua serta keluarga. Selama ini latihan ini sudah berjalan, tetapi kita sekarang ingin berbagi dan lebih melibatkan orangtua/keluarga seminaris karena kami yakin ini baik bagi kita semua. Pertama, latihan refleksi pribadi dalam keseharian seminaris. Untuk itu para pamong telah bersusah payah menyusun sebuah buku pedoman refleksi. Mestinya kalau seminaris rajin berlatih, mereka sudah terbiasa dengan refleksi ini. Refleksi itu sederhana dan gampang, yang sulit adalah tekun melatihnya. Silakan didalami dan dilatihkan saja buku pedoman ini yang nanti akan kami bagikan. Siapa tahu seminaris juga bisa mengajari orangtua/keluarganya berefleksi.

Kedua, latihan refleksi dalam kelompok dengan metode percakapan tiga putaran. Selama pandemi seminaris sudah menjalani latihan ini dalam kelompok Basis Wilayah dan beberapa merasa terbantu dengan proses ini. Kami rasa praktek sharing ini bisa dilaksanakan dalam keluarga. Belum tentu mudah, tetapi kalau bisa rutin dilaksanakan, kami yakin akan terjadi percakapan dan doa yang mendalam antar anggota keluarga dan akhirnya keluarga akan tumbuh bersama sebagai ecclessia domestica (Gereja Keluarga). Sharing ini juga adalah sebentuk doa bersama dalam keluarga, tetapi doa yang lebih mengakar dari pergulatan hidup sehari-hari. Silakan dibaca pedoman sharing ini yang akan kami bagikan pada waktunya. Semoga sungguh bisa dilaksanakan, misalnya 2 atau 3 minggu sekali.

Ketiga,  latihan di kelas terutama untuk mata pelajaran kurikulum seminari, misal bisa latihan berefleksi lewat materi pelajaran, film singkat atau teks singkat yang inspiratif. Selain tiga hal di atas tentu akan ada bentuk-bentuk lain yang akan kita temukan bersama selama berjalannya proses pembinaan.

Penutup

Refleksi adalah ibu segala keutamaan. Keutamaan akhirnya bukanlah ide-ide yang indah tetapi tindakan dan perilaku yang nyata dalam hidup harian. Keutamaan bukan hanya  pengetahuan (head) tetapi harus merasuk ke dalam hati (heart) dan akhirnya menjadi tindakan (hands). Sang Ibu keutamaan ini perlu kita jaga dan rawat terus dengan melatihkannya secara tekun dan ajeg. Akhir kata, kuncinya adalah latihan, latihan dan latihan! Practice makes perfect! Semoga Tuhan menganugerahkan rahmat ketekunan melatih refleksi ini. Jangan mengaku diri seminaris jika malas refleksi!

.

Mertoyudan,  Juli  2021

Rektor,

Hilarius Budiarto Gomulia, SJ

Similar Posts