Relasi yang Sehat dan Berkembang dalam Terang Keterarahan Nilai-Nilai Panggilan di Dunia Digital

Seperti tertulis dalam lectio brevis sebelumnya (Kedalaman Intelektual dalam Formasi di Dunia Digital, 2019), bagi Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan, memandang dan memperhitungkan dunia digital sebagai konteks formasi dan selanjutnya ke sana pula kita dipanggil dalam tugas imami, tiga pilar proses formasi Sanctitas, Scientia dan Sanitas terasa semakin relevan untuk dieksplorasi bagi formasi dengan muaranya membentuk pribadi-pribadi yang ditandai oleh kedalaman spiritual (spiritual depth) dan kedalaman intelektual (intellectual depth) yang menyatu dengan kematangan pribadi serta persaudaraan yang sehat dan kokoh. Relasi yang sehat dan berkembang dalam keterarahan visi misi Seminari inilah yang akan kita jadikan fokus tahun sanitas 2020-2021: “Relasi yang Sehat dan Berkembang dalam Terang Keterarahan Nilai-Nilai Panggilan di Dunia Digital”. “Sehat” menunjuk keutuhan sehat jiwa raga, psikologis dan fisis dengan salah satu penandanya adalah tidak terbelenggu oleh sejarah masa lalu ataupun kerapuhan-kerapuhan manusiawi serta ketidakberdayaan dan pesimisme dalam menghadapi tantangan. Sementara itu “berkembang” menunjuk tahapan progresif seminaris sebagai remaja dengan disposisi subur berkembang seturut dinamika perkembangan manusiawinya maupun dinamika psikoseksual. Perkembangan sendiri bermuara kepada kematangan pribadi yang sanggup membuat pilihan dan mengukur diri berhadapan fokus-fokus tahapan pembinaan Seminari dari tahun ke tahun ke arah formasi lanjut imamat.

Memperhatikan aspek sanitas yang detegaskan oleh Pedoman Pembinaan Seminari, karakter “sehat” dan “berkembang” memunculkan harapan bahwa dari Seminari lahir pribadi-pribadi yang akrab dengan persoalan dan kehidupan dunia berbekal kedalaman spiritual (spiritual depth) dan intelektual (intellectual depth) serta kebiasaan belajar (learning habit). Kualitas-kualitas ini dicapai dengan memanfaatkan struktur kegiatan dan tradisi Seminari serta fasilitasnya yang mendukung seperti, menjaga kebersihan (opera), istirahat (dormitorium), makan bersama (refectorium), rekreasi (ruang rekreasi), olah raga (lapangan), doa bersama (kapel dan ruang doa) serta relasi interpersonal (acara-acara kelompok). Sementara itu, untuk mencapai kemampuan menerima dan mengolah diri serta kemampuan berelasi dengan pria dan wanita sebagai penanda kualitas “sehat” dan “berkembang” dicapai dengan bimbingan pribadi (cura personalis – care for the person). Secara khusus hal ini terjadi dengan memperhatikan dan mengolah relasi sehari-hari, memanfaatkan kebiasaan bimbingan serta refleksi. Hal-hal inilah yang dalam bahasa St. Thomas Aquinas, sebagaimana dikutip oleh The Gift of the Priestly Vocation – Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis (RFIS 2016, n. 93), disebut sebagai grace builds upon nature gratia supponit naturam. Rahmat panggilan dibangun di atas anugerah-anugerah kodrati. Formasi adalah proses mengolah anugerah-anugerah kodrati ini, termasuk mengolah relasi yang sehat untuk panggilan. Seorang seminaris mengolah kerendahan hati, keberanian, common sense, kebesaran jiwa, pandangan yang sehat dan diskresi, kesediaan memahami sesamanya dan transparansi, serta cinta akan kebenaran dan kejujuran (RFIS 2016, n. 93). Formasi seperti ini akan melahirkan seorang yang secara manusiawi dewasa dan secara batin merdeka di dalam mengikuti panggilan.

Relasi yang sehat dan berkembang

Adalah benar bahwa pada kenyataannya isi dan proses formasi adalah relasi. Empat relasi yang diolah adalah relasi dengan diri sendiri, dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan alam sekitar. Sedemikian penting dan strategis relasi ini sehingga secara psikologis ditunjukkan bahwa kebanyakan masalah-masalah hidup manusia bersumber pada persoalan relasi antar manusia ini (William Glasser, Choice Theory. A New Psychology of Personal Freedom, 1998). Relasi yang sehat dan berkembang dengan diri sendiri ditandai oleh pengenalan dan penerimaan diri sehingga seseorang bisa terus bertransformasi. Relasi yang sehat dan berkembang dengan sesama ditandai oleh kesediaan untuk berelasi dengan saling menghormati dan percaya (mutual respect and trust) sehingga saling menumbuhkan. Relasi yang sehat dan berkembang dengan Allah terjadi ketika seseorang sanggup untuk mengenakan cara-cara Tuhan merasa, menalar, mencinta dan melayani. Tuhan di dalam keyakinan kita adalah Yesus Kristus dengan pemberian diri yang tulus dan total melalui jalan turunya (bdk. Filipi 2:1-11). Relasi yang sehat dan berkembang dengan alam ciptaan ditandai oleh naluri dan kecenderungan untuk terus merawat bumi sebagai rumah bersama dengan keutamaan mengreasi daripada sekedar mengonsumsi. Penetapan tahun khusus Laudato Si’ (24 Mei 2020 – 24 Mei 2021) oleh Paus Fransiskus menyertakan undangan kepada semua yang berkehendak baik untuk merawat bumi sebagai rumah bersama. Usaha-usaha kita di tahun sanitas bisa kita integrasikan dengan tahun khusus Laudato Si’ ini.

Tentang relasi yang sehat dan berkembang ini, Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis (RFIS 2016) menekankan perhatiannya pada perkembangan harmonis kepribadian seminaris. Perkembangan ini merupakan kemampuan yang matang dalam membangun relasi dengan pria dan wanita dari berbagai umur dan kondisi (RFIS 2016, n. 95). Perkembangan harmonis kepribadian ini memuat juga di dalamnya kesadaran akan kelemahannya sendiri, yang selalu menyertai kepribadiannya (RFIS 2016, n. 96). Orang dewasa adalah orang yang telah mengenal dan menerima kerapuhannya untuk selanjutnya menata dan menghayati hidup dengan penerimaan itu di jalan makin mencintai dan mengikuti Tuhan. Dalam bahasa Latihan Rohani St. Ignatius, pada aspek ini seseorang mampu menaklukan diri dan mengatur hidupnya sehingga makin merdeka di dalam mencinta dan melayani (Latihan Rohani 21).

Kondisi sehat secara psikologis, baik mengenai dirinya maupun dalam berelasi dengan orang lain menjadi hal penting karena pada akhirnya kondisi ini mempengaruhi kemampuan membuat diskresi atau pertimbangan diri pribadinya, kewajiban-kewajiban panggilannya serta pelayanannya (RFIS 2106, n. 192). Untuk itu dari sisi relasi, dalam komunitas formasi diperlukan atmosfir saling percaya dan keterbukaan sehingga informasi tentang persoalan-persolaan psikologis dan penanganannya secara tepat bisa diberikan (RFIS 2106, n. 193).
Dengan mengingat tiga pilar formasi Seminari, yaitu sancitas, scientia, dan sanitas, relasi yang sehat dan berkembang mengacu ke pertumbuhan integral dalam aspek-asek manusiawi. Itu maksudnya, seperti ditunjukkan RFIS, sehat fisis berarti meminati dan memperhatikan kesehatan, nutrisi, aktivitas fisik serta istirahat. Sementara yang ditunjuk sebagai penanda sehat psikis adalah kepribadian yang stabil yang ditandai dengan emosi yang seimbang, penguasaan diri serta seksualitas yang terintegrasi (RFIS 2016, n. 94). Terintegrasi artinya ditempatkan di dalam seluruh keutuhan formasi calon imam dan nilai-nilai imamat yang akan dihayatinya.
Di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi
Memperhatikan konteks dari mana seminaris datang dan apa lingkungan keseharian mereka, adalah jelas bahwa dunia digital beserta kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (Information and Communication Technology – ICT) menyediakan kemudahan membuat berelasi dalam segala variasi kualitasnya. Kemajuan tersebut mempercepat dan memperbanyak arus informasi; juga dalam komunikasi, memperpendek jarak tempat. Namun demikian adalah kenyataan juga bahwa kemajuan ICT dengan banyak kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan memperbesar ketidakbahagiaan, stress dan depresi, kesepian yang mendalam serta memperlemah kesehatan mental yang menurun. ICT menawarkan hal yang sama kepada semua yang sebenarnya memiliki disposisi kekuatan mental dan finansial yang tidak sama. Dicatat juga bahwa kemajuan ICT memperlemah kemampuan elementer seseorang dalam membangun relasi personal. Sebabnya, orang sudah merasa cukup membangun relasi personal melalui instrumen virtual yang pada dasarnya impersonal. Paus Fransiskus memperhatikan secara cermat hal ini dan menunjukkan dua kemungkinan pengaruh dari kemajuan ICT, yaitu sebagai sarana pengembangan budaya baru bagi umat manusia atau penyebab pemerosotan kualitas hidup manusia. Tentang hal ini dalam Laudato Si tertulis demikian:

“Selain itu, pengaruh media masa dan dunia digital yang hadir dimana-mana, dapat menghalangi orang untuk belajar hidup dengan bijaksana, untuk berpikir secara mendalam, untuk mencintai dengan murah hati. Bagi tokoh-tokoh amat bijak dari masa lampau, dalam konteks ini, ada bahaya bahwa kebijaksanaan mereka tenggelam di tengah kebisingan dan keramaian informasi. Diperlukan upaya untuk membantu media komunikasi ini menjadi sarana pengembangan budaya baru bagi umat manusia dan bukan penyebab pemerosotan harta kita yang terdalam. Kebijaksanaan sejati, sebagai buah refleksi, dialog, dan pertemuan antara orang-orang yang murah hati, tidak tercapai hanya oleh akumulasi data yang akhirnya membuat jenuh dan bingung, semacam polusi mental.”

Laudato Si, 47

Fokus tahun ajaran 2020-2021 sebagai tahun sanitas dengan perhatian khususnya pada relasi yang sehat dan berkembang juga mengajak kita semua, seminaris, staf, guru dan karyawan untuk terus menempa diri dengan mengedepankan kedalaman relasi interpersonal, pengembangan harga diri yang sehat, termasuk bangga sebagai seminaris Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan dan sebagai staf, guru dan karyawan Seminari. Tahun sanitas diharapkan membantu membangun kemampuan menguasai dan menata diri serta emosi sehingga relasi kita berkembang tanpa dimanipulasi kemajuan ICT serta hidup tanpa sesat informasi. Contoh hidup tanpa kedalaman relasi interpersonal adalah kurang memahami dan menghargai latar belakang teman, kurang menyadari Seminari sebagai komunitas homogen lalu melakukan bullying dalam segala bentuknya, termasuk me-feminim-kan sementara teman. Contoh ini menyuburkan kecenderungan relasi yang tidak sehat dan merendahkan serta jauh dari membangun (edifying).

Menambahka amatan, bahkan kalau pada kenyataannya di Seminari ini ditemui juga kecenderungan melakukan tindak anarkis serta indisipliner, bersikap kurang memperhatikan kecerdasan emosional dan kreativitas intelektual sebagai buah formasi, kita diajak jujur memeriksa diri terutama sisi kematangan pribadi dan kemampuan internal control. Hidup dengan prinsip yang jelas dan tegas sehingga seseorang tidak hanya ikut arus atau dikendalikan oleh faktor eksternal merupakan tanda kedewasaan seseorang dengan kemampuan internal control (William Glasser, Choice Theory. A New Psychology of Personal Freedom, 1998). Di Seminari, beberapa keterbatasan, baik itu karena dipilih (seperti tidak diijinkan membawa HP) maupun karena keadaan, bisa dimanfaatkan untuk melatih internal control ini. Misalnya, karena jatah waktu telepon terbatas, mesti menata diri dan menentukan apa yang hendak dikatakan. Karena tidak setiap hari ada kesempatan keluar Seminari, mesti menentukan untuk apa, kemana dan dengan siapa. Pada ukuran tertentu internal control sendiri merupakan bagian penting dari social intelligence yang dipahami sebagai sebuah kecerdasan di dalam membangun dan mengelola relasi (Daniel Goleman, Social Intelligence. Ilmu Baru tentang Hubungan Antar-Manusia, 32016). Internal control juga menjadi bagian dari kematangan pribadi dengan cirinya menguasai diri dan memungkinkan seseorang berkontribusi di dalam membangun kesadaran kolektif yang positif dan tidak mudah ikut arus pada kecenderungan kelompok untuk melalukan beberapa tindakan yang merugikan relasi sehat dan hanya menyuburkan kekerasan. Karena itu adalah jelas, untuk mendukung relasi yang sehat dan berkembang, ditegaskan, misalnya, selebrasi baik yang personal dan komunal mesti dilakukan tidak dengan bentuk-bentuk kekerasan serta bullying. Mesti dicari dan diusahakan secara kreatif bentuk-bentuk selebrasi yang sejalan dengan nilai-nilai luhur pendidikan calon-calon imam di Seminari.

Belajar dari pandemi covid-19: kreativitas dan solidaritas

Pandemi Covid-19 19 mengena semua dan tidak terkecuali Seminari. Ketetapan Protokol Kesehatan Seminari (15 Maret 2020) mengundang dan menantang semua saja untuk bersikap. Pembatasan aktivitas bersama dan larangan keluar Seminari melahirkan beberapa pokok pembelajaran; misalnya, relasi yang lebih personal sesama teman, kreatif dalam mengisi dan memanfaatkan waktu, solider dengan mereka yang lebih menderita karena dampak pandemi, perhatian terhadap kepentingan umum dengan kesadaran pilihan personal yang sehat memiliki keberelasian dengan kepentingan umum. Hal positif tersebut ada dan tumbuh di Seminari selama pandemi Covid-19 ini. Tentu saja terdapat juga hal-hal negatif sebagai bagian dari proses menyikapi situasi tidak terduga ini, termasuk kebosanan yang tidak terelakkan dan melemahkan semangat. Usaha untuk meningkatkan kebersihan diri maupun lingkungan juga ditingkatkan. Tersedianya wastafel di depan ruang-ruang kelas, check suhu serta mengonsumsi vitamin C setiap hari termasuk bagian dari usaha ini.

The Tablet (The International Catholic Weekly, Est. 1840) mencatat bahwa di tengah pandemi Covid-19 ini muncul lagi “saat menjadi solider”. Dikatakan bahwa virus memaksa seluruh manusia memperhatikan apa yang sama. Di tengah situasi ini ada rasa hormat baru (new respect) terhadap orang yang meringankan beban sesamanya. Bisa dibayangkan juga jalinan ketergantungan dari semua, tidak hanya dokter dan perawat serta yang terlibat langsung di dalam sistem pelayanan kesehatan, tetapi semua pekerja tukang bersih-bersih, sampah, pengantar pesanan barang, transport, obat, tentara, guru dan banyak yang lain; bahkan pilihan personal kita menggunakan masker atau tidak memiliki dampak bagi orang lain. Dalam semua itu, ada sementara yang benar-benar menjalani hari-harinya dengan kepahitan hidup oleh karena pada masa tanpa pandemi pun sudah berkesusahan. Situasi itu, bagi Paus Fransiskus akhirnya adalah juga menjadi undangan pertobatan. Dikatakan “Apa yang kita hayati saat ini adalah tempat dan kesempatan untuk pertobatan. Kita dibuat sadar lagi tentang adanya orang-orang kudus di samping pintu rumah kita: dokter, volunter, para pekerja, para imam, biarawan-biarawati, dan semua” (The Tablet, 11 April 2020, hlm. 2). Paus Fransiskus mengingat kekudusan pada kebanyakan orang dalam hidup sehari-hari seperti orang tua yang membesarkan anak, orang-orang yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga, orang-orang sakit dan yang merawat orang sakit (Paus Fransiskus, Gaudete et Exultate, 2018, n. 6-9).

Jejak-jejak pertobatan yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus dalam menjalani masa pandemi bisa berupa sikap-sikap baru seperti menjaga diri tetap sehat dengan tercukupi kebutuhan-kebutuhan elementer serta sikap ugahari tanpa terseret arus mengejar kebutuhan semu serta belajar berkata “cukup” terhadap dorongan menambah konsumsi. Menjadi sadar akan dan mendapat pengalaman mengenal lebih dalam orang-orang sekitar dengan waktu luangnya termasuk jejak-jejak positif situasi Pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Kebersamaan menghadapi situasi buruk juga menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai kebersamaan serta sikap respect terhadap hadirnya pribadi lain. Masing-masing sadar sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan untuk dibantu (our need to be helped). Kesadaran ini merupakan paradoks dalam berelasi; di satu sisi hal tersebut merupakan sebuah keterbatasan, di sisi lain kebersamaan dalam keterbatasan tersebut memampukan mengatasi persoalan-persoalan besar seperti pandemi ini.

Pembagian tugas untuk kelancaran hidup bersama di Seminari juga semakin terasa bermakna untuk mendukung kesehatan fisik serta membangun lingkungan higienis. Dalam perspektif relasi yang sehat dan berkembang, tugas-tugas sehari-hari menjadi kesempatan untuk membangun relasi personal serta kemampuan bekerja sama yang pada gilirannya juga akan mengoptimalkan pelayanan hidup bersama. Bahkan bisa dibayangkan dan dirasakan hadir di dalam makan bersama di refectorium serta doa di kapel mampu meningkatkan kualitas relasi oleh karena kehadiran bersama memunculkan resonansi afektif satu sama lain (Daniel Goleman, Social Intelligence. 32016). Dalam hal ini, betapa banyak peluang yang tersedia untuk menumbuhkan relasi sehat dan berkembang dalam terang keterarahan nilai-nilai panggilan di Seminari ini. Keberagaman asal dan kebiasaan yang dibawa sebelum masuk juga bisa dieksplorasi untuk mendukung proses relasi sehat dan berkembang ini.

Relasi dan persahabatan

Semakin jelas diterima bahwa dari waktu ke waktu di usia remaja pada jaman ini ikatan kelompok dan angkatan semakin kuat. Di Seminari, hal ini dimulai dari saat-saat pertama masuk di Medan Pratama sebagai Medan Introductio. Proses membangun relasi yang sehat berjalan melalui pergulatan beradaptasi dengan pengalaman masa lalu dan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Bukan tidak mungkin dalam situasi ini muncul kelompok-kelompok kecil yang di satu sisi membuat cepat kerasan dan segera mendapat sahabat, di sisi lain tetap perlu dicermati agar tidak memiskinkan cakupan membangun persahabatan di tingkat yang lebih luas. Terbentuk bounding kelompok yang kuat. Yang perlu dicermati, dilengkapi dan dikritisi adalah seberapa kenyataan ini mendukung proses relasi yang sehat fisik, psikis dan juga pertumbuhan panggilan ke tempat ini seorang seminaris bertujuan. Karena itu adalah berharga secara periodik merefleksikan hal-hal di seputar ini supaya Seminari menjadi lingkungan yang sehat dan aman untuk berjalan bersama serta bebas dari bullying dalam segala bentuknya yang hanya membekaskan jejak-jejak traumatis serta memboroskan energi untuk sesuatu yang tidak perlu.

Memperhatikan untuk apa seseorang masuk Seminari dan apa yang mau dicapai dengan bertekun di Seminari, bisa dicatat beberapa hal prinsip yang bisa mendukung proses formasi relasi yang sehat dan berkembang. Pertama, seseorang respect terhadap diri dan panggilan luhurnya. Kedua, respect terhadap pribadi lain, sesama seminaris bersama keluarganya, juga terhadap orang-orang di lingkungan Seminari karena mereka semua ada untuk mencintai Gereja sebagai man of the Church. Ketiga, respect terhadap alam ciptaan. Rasa hormat atau respect dalam tiga aspeknya ini, yang didukung oleh kemampuan mendengar dan kesediaan belajar, akan meningkatkan kognisi sosial, sebuah pengertian bagaimana lingkungan sosial bekerja (Daniel Goleman, Social Intelligence. 32016). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan lingkungan sosial adalah lingkungan Seminari dengan keterarahan nilai-nilai pembinaan calon-calon imam.

Tentang relasi dan persahabatan, pada umumnya, relasi berjalan bersama dengan persahabatan. Karena itu persahabatan bisa didefinisikan sebagai ikatan atau relasi dengan yang lain yang bertahan cukup lama dan dipilih secara merdeka serta di dalamnya terjadi sharing bersama tentang peristiwa-peristiwa kehidupan. Dalam relasi yang berkembang menjadi persahabatan ini, seseorang akan mengalami aspek keunikannya, yaitu sesuatu yang tidak bisa digantikan pribadi lain dan relasi ini melibatkan afeksi, kepercayaan serta kedekatan yang mendukung keinginan dan usaha untuk menghayati panggilan dan melayani Tuhan (Charles M. Shelton, S. J., “Friendship in Jesuit Life. The joys, the Struggles, the Possibilities”, Studies in the Spirituality of Jesuits 27/5 [1995]). Dalam pengertian tersebut terkandung beberapa tema penting, yaitu keinginan untuk bersama, memberi pengalaman tentang rasa-perasaan positif, memberi rasa kehilangan, menyediakan rasa aman dan kepercayaan yang tinggi dan menyemangati serta membesarkan hati untuk mengarahkan fokus perhatian di luar relasi dan persahabatan itu sendiri. Untuk Seminari, artinya relasi tersebut terarah kepada nilai-nilai imamat dalam tiga pilar formasinya, Sanctitas, Scientia dan Sanitas.

Dalam relasi dan persahabatan, rasa aman dan kepercayaan yang tinggi memungkinkan sharing yang mendalam antara sahabat tersebut dan mengungkapkan hal-hal yang tidak kepada kebanyakan orang bisa disampaikan. Tentu saja resikonya adalah bahwa oleh karena kedalaman relasi tersebut, persahabatan juga melahirkan kesedihan ketika terjadi perpisahan atau hilang. Dari sisi proses, disadari juga bahwa kedalaman level relasi dan kepercayaannya dipengaruhi juga oleh sisi-sisi lain: latar belakang keluarga, situasi hidup keseharian, kerinduan dan dambaan-dambaan rasuli, percakapan rohani, berbagi rasa perasaan negatif, harapan akan sesuatu yang baik pada sahabat serta tantangan dan sikap diam yang bijaksana (Charles M. Shelton, S. J., 1995). Hal-hal ini pula yang menjadikan relasi dan persahabatan dalam konteks membangun relasi yang sehat dan berkembang bisa terasa dinamis dan kaya.

Relasi yang sehat dan berkembang menjadi undangan juga bagi staf, guru dan karyawan. Karena relasi macam ini, di dalam menjalankan tugas, mendasari kesadaran bahwa kita masing-masing adalah kolaborator Allah untuk perutusan-Nya (missio Dei). Perutusan tersebut adalah menjalankan tugas pembinaan calon-calon imam. Relasi yang sehat menciptakan saat-saat nyaman dan saling mengembangkan sehingga perjumpaan dan ruang-ruang bersama dirindukan karena menginspirasi dan mengembangkan naluri kreatif untuk hidup dan pelayanan kepada anak-anak Seminari. Demikian, staf, guru dan karyawan pun respect terhadap tugas dan panggilannya di tempat ini karena di kedalaman hati ditempatkan kesadaran akan luhurnya tugas-tugas ini.

Memelihara kualitas kedalaman relasi

Seperti telah disebut sebelumnya, dalam membicarakan “relasi yang sehat dan berkembang” kita tidak bisa mengabaikan kenyataan budaya digital dan kemajuan teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology – ICT). Kita tidak bisa menghindar dari realitas budaya digital berserta nilai-nilainya yang telah menjadi ekosistem kita. Menghadapi kenyataan ini, hal yang secara jelas bisa segera ditegaskan adalah perlunya sikap diskretif. Pertama-tama oleh karena tidak setiap kemajuan teknologi itu dengan sendirinya mendukung kualitas hidup manusia sekaligus disadari bahwa menolak dan mengutukinya secara serampangan sebagai berhala adalah keliru dan tidak bijaksana.

Dua dari banyak hal yang terus perlu dipegang dan diperjuangkan dalam memelihara kualitas kedalaman relasi adalah kebiasaan berdiskresi dan membangun kesadaran kolektif untuk hal-hal yang positif.

Perkembangan teknologi dan banyak perubahan yang cepat dan mendalam dengan nilai-nilai yang dibawa serta menuntut kebiasaan berdiskresi (discerning habit). Dengan diskresi saya maksud sebentuk latihan rohani di dalamnya seorang beriman mencermati gerak-gerak batin dan kecenderungannya supaya bisa mengenali kehendak Allah dan mengikutinya.

Kebiasaan berdiskresi ini selanjutnya memampukan seseorang ikut membangun kesadaran kolektif yang dari perspektif isi selaras dengan panggilan pribadi dan kebaikan bersama. Untuk konteks formasi Seminari kita, kebiasaan berdiskresi dan kesadaran kolektif sebagai unsur penting kualitas kedalaman relasi diuji oleh pertanyaan: Membantu perkembangan masing-masing atau malah mengaburkan identitas pribadi? Menggembangkan bakat-bakat pribadi atau seragam di bawah sebuah kecenderungan yang dominan? Mendukung pencapaian nilai-nilai bersama dalam memperjuangkan panggilan atau menghambatnya? Secara umum bisa dikatakan bahwa kesadaran kolektif bisa diuji dari fungsinya dalam berkomunitas, yaitu menjadi tempat subur untuk relasi yang sehat dan terus berkembang. Tanda sederhana bahwa seseorang tidak menjadi bagian dari proses tersebut adalah memandang diri di luar kelompok dan berbicara mengenai kelompok tanpa keterlibatan afektif dirinya. Pun dari orang semacam itu, keunggulan pribadi tidak membawa pengaruh positif bagi perkembangan kelompok. Karena itu, kesadaran kolektif yang sehat, sejati dan benar diuji juga oleh aspek paradoknya, yaitu bahwa semakin kuat dan mendalam ikatan kelompok semakin menyiapkan, mematangkan dan memerdekakan masing-masing anggota untuk berkiprah handal di luar kelompok.

Kualitas kedalaman relasi ditentukan juga oleh nilai-nilai yang diwujudkan serta visi misi bersama. Dalam hal ini terlihat jelas dinamika keberelasian antara kesadaran pribadi dengan discerning habit-nya dan kesadaran kolektif yang saling mempengaruhi. Mengelola dinamika keberelasian untuk mewujudkan nilai-nilai panggilan berarti juga membentuk nilai-nilai tersebut yang pada mulanya diterima dan dihayati secara pribadi menjadi kesadaran kolektif. Sebelum menjadi kesadaran kolektif, biasanya lebih dulu diperlukan keberterimaan nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini Seminari beruntung oleh karena setiap seminaris datang kurang lebih dengan kesadaran dan nilai-nilai yang sama, menanggapi rasa terpanggil menjadi imam Gereja. Menurut manajemen kepemimpinan, usaha menjadikan sebuah nilai sebagai kesadaran kolektif membutuhkan kesanggupan dan kemampuan untuk membagikan nilai tiga unsurnya: bagaimana digambarkan (features), apa manfaat dan keuntungannya (benefits) serta mampu tidaknya membangun impian yang bisa menggairahkan dan memproduksi energi untuk mencapainya (Jo Owen, The Leadership Skills Handbook, London: Kogan Page, 42017). Ketika ketiga unsur kebeterimaan nilai tersebut kuat, kesadaran kolektif pun akan kuat dan mendukung relasi yang sehat.

Demikian untuk memelihara kualitas kedalaman relasi secara pribadi dan komuniter perlu membangun discerning habit dan kesadaran kolektif. Sudah lama mentradisi dan teruji, Seminari ini memiliki kebiasaan silentium magnum (Jumat sore hingga Sabtu pagi), silentium sacrum (saat-saat aktivitas rohani dan di kapel) serta silentium altum (saat studi) yang sebenarnya tidak hanya mendukung aktivitas terkait tetapi juga mendukung kebiasaan berefleksi dan berdiskresi. Sebab, tidak ada diskresi berserta perkembang kesejatiannya tanpa saat-saat silentium dan hening tersebut. Ini artinya, Seminari memfasilitasi dari waktu ke waktu usaha membangun relasi yang sehat dan terus berkembang.

Penutup

Dalam tahun sanitas ini, dengan melihat dan memahami fokus “Relasi yang sehat dan berkembang dalam terang nilai-nilai panggilan di dunia digital” serta bagaimana memperjuangkan dan menyediakan fasilitas untuknya, rasa saya perlu menegaskan beberapa hal berikut ini supaya fokus dan tema turunannya tidak hanya menjadi slogan, tetapi terus memandu perjalanan formasi 2020-2021.

Pertama, masing-masing dan bersama-sama selalu menatap alasan dan tujuan keberadaan di Seminari dengan pertanyaan: mengapa dan untuk apa? Di Seminari seseorang mengolah panggilan luhur untuk menjadi imam yang tangguh bagi Gereja dan masyarakat serta menjadi akrab dengan persoalan dunia berbekal kedalaman spiritual dan intelektual menjadi dasar keberanaan Seminari tinggal dan berproses di Seminari.

Kedua, sadar bahwa memutuskan untuk masuk Seminari dan berkomitmen menjalani hidup sebagai seminaris adalah peristiwa iman dalam menanggapi panggilan, masing-masing mesti respect terhadap panggilannya sendiri dan panggilan sesama. Kesadaran ini menjadi pengikat khas kebersamaan di Seminari serta menjadi disposisi subur (docilis) untuk menjalani formasi dengan prosesnya yang dinamis dan kaya. Dalam kesadaran ini, masing-masing seminaris bisa mengalami kebenaran bahwa sesama seminaris adalah formator bagi yang lain.

Ketiga, memperjuangkan relasi yang sehat dan terus berkembang merupakan tanggungjawab luhur serta menjadi bagian embrional dari unsur rasuli yang mesti sudah dikembangkan sejak dini. Melalui relasi yang sehat dan terus dikembangkan seorang seminaris ikut bertanggungjawab terhadap panggilan sesama seminaris.

Keempat, menjaga diri tetap sehat dan menciptakan lingkungan yang sehat berarti mendukung kesehatan psikis serta relasi yang sehat dan terus berkembang. Pepatah lama tetap terus bermakna: mens sana in corpore sano.

Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan
1 Juli 2020
L. A. Sardi S. J.

Similar Posts